Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Seni Hidup Tanpa Beban; Dari Filsafat yang Dihidupkan Kembali

17 Januari 2023   08:38 Diperbarui: 17 Januari 2023   09:10 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena bukan dari jurusan filsafat, maka saya termasuk terlambat mengenal istilah ini. Saya pertama kali mendengar Stoicisme dari kuliah umum Romo A. Setyo Wibowo di Komunitas Salihara via youtube, video itu saya saksikan di tahun 2015. Saya waktu itu tidak sepenuhnya mengerti dan cenderung skip, maka informasi mengenai Stoicisme saya peroleh secara tidak lengkap. Nanti setelah membaca Filosofi Teras, barulah saya agak paham, begini rupanya Stoicisme itu.

Filosofi teras menekankan aspek praktis, berbeda dari aliran filsafat lainnya yang cenderung mengutamakan membangun konsep dan sebatas konseptual belaka. Sebuah kutipan menarik yang diambil dari Epictetus:

"Jangan menyebut dirimu sendiri 'seorang filsuf', atau menggembar-gemborkan teori-teori yang kamu pelajari ..., karena domba tidak lagi memuntahkan rumput kepada sang gembala untuk memamerkan banyaknya rumput yang dimakannya; tetapi domba mencerna rumput tersebut di dalam tubuhnya, dan ia kemudian memproduksi susu dan bulu. Begitu juga, janganlah kamu memamerkan apa yang sudah kamu pelajari, tapi tunjukkanlah tindakan yang nyata sesudah mencernanya." (Hal. 301)

Umumnya manusia berfilsafat demi memperoleh kebahagiaan. Namun untuk kaum stoa, kebahagiaan diperoleh dengan tindakan langsung. Antara lain adalah hidup selaras dengan alam, membebaskan diri dari emosi negatif, dikotomi (atau trikotomi?) kendali, amor fati (mencintai takdir), STAR (Stop-Think & Assest-Respond), premeditatio malorum (melatih diri membayangkan kemungkinan terburuk demi kesiapan), dan beberapa lagi yang lainnya.

Keenam, buku itu berhasil membuktikan bahwa betapapun suatu aliran filsafat sudah purba (sekitar dua ribuan tahun yang lalu) dan lama mandek, tetapi suatu waktu dapat diaktifkan kembali. Terlebih, jika ia rupanya relevan untuk era sekarang yang apa-apa harus internet; medsos. Ya, kita tahu bahwa medsos bukan sekadar internet saja, tetapi juga mental, sikap kita kala berhadapan dengannya.

Penyebaran hoaks yang marak terjadi tidak lepas dari adanya sikap terburu-buru meneruskan sebelum memahami dengan baik informasi yang ada (meminjam istilah yang jadi judul buku Gus Nadirsyah Hosen: [baiknya] Saring Sebelum Sharing). Hanya karena informasi itu dipandang mewakili perasaan, yang sesungguhnya tidak penting bagi kita tapi malah meneruskan tanpa mendalami, maka masuklah kita dalam mata rantai penyebaran hoaks itu.

Filosofi teras (stoa) datang untuk berupaya mengingatkan, bahwa impresi awal atau fakta yang dialami pada dasarnya adalah netral, kitalah yang memberinya penilaian, apakah itu berkah ataukah kesialan? Fakta adalah sesuatu yang terjadi di luar kendali, maka memusingkannya tak ada gunanya. Sebaliknya, kepusingan merupakan emosi negatif yang bisa dikendalikan. Fakta tidak akan berubah baik kita stres atau tidak, maka stresnyalah yang perlu diatasi.

Ketujuh, buku itu (filosofi teras) mengajarkan kita untuk hidup tanpa beban, dengan tips-tips yang sudah diajukan oleh Henry Manampiring. Menjadi stoic ibarat menjadi batu, atau layaknya pilar-pilar batu di mana kaum stoa membangun sekolah filsafatnya, berdiri kekar di hadapan kenyataan yang pahit.

Kalau bisa, penderitaan justru disyukuri, layaknya Zeno yang bersyukur kapalnya karam. Sebab kalau tidak, ia mungkin tak akan berjumpa dengan cara berpikir stoic seperti itu.

Namun betapapun bagusnya tawaran untuk hidup tanpa beban ala Stoicisme, filosofi teras bukannya tanpa sisi kekurangan. Ada beberapa hal yang mesti diwaspadai dalam filosofi teras yang juga sekaligus merupakan poin kritik untuknya:

Pertama, filosofi teras memang melatih kita untuk tidak memusingkan tanggapan orang lain, sebab tanggapan orang termasuk hal yang tak bisa kita kendalikan. Namun berbahaya jika terbiasa seperti itu, lalu kita yang berada di posisi penanggap dan dalam kesadaran kita bahwa tanggapan kita itu tidak akan membuat orang lain sakit hati, atau mungkin berharap orang lain juga berprinsip stoic (tidak pusing atas tanggapan kita).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun