Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Arthdal Chronicle": Drakor yang Berkisah Politik Tingkat Spesies

11 Januari 2023   09:00 Diperbarui: 11 Januari 2023   09:04 1792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumber foto: wonosobo.pikiran-rakyat.com

Soal politik, Indonesia agaknya termasuk punya gaya kasar, meski katanya kita adalah negara yang menjunjung tinggi kebudayaan, sopan santun, yang gema ripah loh jinawi. Menjatuhkan, manipulasi, keculasan dilakukan dengan amat kentara. Utamanya sentimen antar kelompok, terkadang ditampilkan dengan tanpa malu-malu melanggar etika. Politik pun dijalankan dengan mengabaikan gagasan dan komitmen.

Muhidin M. Dahlan menangkap salah satu fenomena perpolitikan kita dan melabelinya dengan "Politik Tanpa Dokumen", label itu kemudian menjadi salah satu judul buku kumpulan esainya, yang dominan menceritakan bagaimana politik Indonesia dibangun dengan tanpa pondasi gagasan yang kuat, oleh rezim yang tunasejarah. Kata lainnya adalah politik aji mumpung. 

Maka tak heran jika politisinya dominan adalah orang-orang yang kering gagasan. Debat gagasannya juga serba "menurut saya". Partai politik tidak punya rekam jejak yang jelas, karena lembaga penyelenggara pemilu nya tidak punya pusat dokumentasi yang jelas untuk mengabadikan itu semua. 

Bandingkan misalnya, jika ada pusat arsip yang mencatat seluruh kejadian politik secara objektif dari zaman ke zaman, tentu politik kita bisa lebih bermartabat, rakyat bisa menilai berdasarkan rekam jejak yang ada; yang terdokumentasi dengan bagus.

Akhirnya gaya politik kasar dan tunasejarah tersebut tidak hanya berakhir di dunia politik praktis secara umum, melainkan juga salah satunya diwarisi dalam dunia politik kampus. Apa yang diperagakan mahasiswa dalam setiap suksesinya, merupakan duplikat dari dunia politik secara umum.

Salah seorang senior saya berkata, itulah gunanya menonton sageuk (drama Korea yang diangkat dari sejarah, legenda, atau cerita rakyat)--bukan hanya K-Pop--sebab di sana kita bisa belajar, betapapun kerasnya gesekan politik para pejabat, cara bertarungnya tetap elegan.

Benar saja, saya sudah menonton beberapa di antaranya. Sebut saja misalnya "Jang Ok Jung", drama yang berkisah tentang seorang selir yang berhasil merebut posisi tertinggi, ia menjadi seorang Ratu. Juga misalnya dalam "100 Days My Prince", kisah tentang putra mahkota yang hilang ingatan (dan juga hilang secara eksistensial), dan kelak catatan harian (diari) yang ditulisnya terdahulu membuatnya bisa kembali ke istana. 

Dua drama sageuk ini ditampilkan dengan suhu politik yang panas, penuh intrik, keculasan, dan kekejaman. Tetapi semuanya sangat rasional, selalu ada alasan logis di balik tindakan. Setiap person yang terlibat dalam pertarungan tahu bahwa ini adalah pertarungan, tetapi selalu harus ada sebab kongkrit yang melandasi suatu tindakan. Hal yang tidak tercermin dalam politik kita.

Namun dua drama yang saya sebutkan barusan baru menyentuh pada level antar-negara atau antar-kerajaan. Ada satu lagi drama Korea tentang politik yang--bukan jenis sageuk--lebih memukau, politiknya bukan lagi pada level negara atau kerajaan, tetapi sudah pada level spesies.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun