Mohon tunggu...
Saefudin Amsa
Saefudin Amsa Mohon Tunggu... lainnya -

Melihat, membaca, berpikir dan menulis apa saja...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pastor Katholik Itu Ikut Puasa di Bulan Ramadhan…

30 Agustus 2010   06:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:36 976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_243867" align="alignleft" width="300" caption="Foto: http://www.johnnyjet.com/image/PicForNewsletterThailandBangkok20081.JPG"][/caption]

Oktober 2006. Ramadhan memasuki sepuluh hari terakhir ketika saya menginjakkan kaki di negeri Gajah Putih, Thailand. Saat itu, saya bersama beberapa orang teman berangkat ke Thailand untuk mengikuti sebuah acara yang diselenggarakan kantor. Seharusnya ini menjadi perjalanan yang menyenangkan karena kali pertama mengunjungi negara lain. Sayangnya, saat itu Thailand baru saja diguncang prahara. Sang perdana menteri berkuasa Thaksin Sinawatra dikudeta oleh sekelompok tentara angkatan darat kerajaan tersebut. Situasi politik dan keamanan negeri Gajah Putih pun menjadi tidak menentu.

Atmosfer ketegangan masih terasa ketika pesawat yang kami tumpangi mendarat di Bandara Svarnabhumi. Saat itu hujan deras mengguyur kota Bangkok. Di beberapa sudut bandara nampak para tentara berjaga-jaga dengan senjata lengkap. Sedianya, acara akan digelar di Bangkok. Namun aksi kudeta membuat panitia memindahkan lokasi pertemuan ke Hua Hin, sebuah kota yang terletak sekitar 200 kilometer arah selatan Bangkok.

Sebelumnya, dari Bandara Polonia Medan, saya berangkat bersama seorang teman dan satu orang atasan kantor. Atasan saya adalah seorang romo atau pastor dari sebuah ordo atau tarekat dalam agama Katholik. Kebetulan saya bekerja di sebuah lembaga kemanusiaan yang berafiliasi pada sebuah ordo dalam agama Katholik. Meski begitu, saya bekerja di lingkungan yang sangat menghormati keberagaman dan perbedaan. Tidak hanya agamanya yang berbeda, seluruh staf kantor pun berasal dari berbagai macam latar belakang suku, etnis dan juga kewarganegaraan.

Setelah proses administrasi di imigrasi bandara selesai, kami melanjutkan perjalanan ke Hua Hin dengan menggunakan beberapa buah mobil. Hujan sudah berhenti, tetapi langit di atas kota Bangkok diselimuti mendung tebal. Setelah mobil yang kami tumpangi meninggalkan bandara, seorang teman non muslim mengingatkan bahwa mungkin sudah tiba waktunya untuk berbuka puasa. Dalam rombongan hanya ada dua orang yang muslim, termasuk saya.

Angka di arloji menunjukkan bahwa waktu magrib hampir tiba. Meski waktu di Medan tdan Bangkok sama, tetapi saya tidak tahu kapan waktu yang tepat untuk berbuka. Apalagi mendung membuat suasana gelap sebelum waktunya. Sambil mengucap bismillah dan menabalkan keyakinan bahwa waktu berbuka sudah tiba, saya membatalkan puasa dengan meneguk air mineral dan mengunyah roti yang saya beli di bandara. Sebelumnya di bandara, seorang teman non-muslim mengingatkan kalau perjalanan menuju Hua Hin akan memakan waktu lama dan ada baiknya mempersiapkan makanan untuk berbuka.

Setelah beberapa jam perjalanan, kami berhenti sejenak untuk makan malam. Lagi-lagi, inilah indahnya toleransi dan persaudaraan tanpa mengenal sekat agama; seorang teman non-muslim mengatakan bahwa restoran tempat kami makan menyediakan menu babi dan saya harus hati-hati. Ia lalu menawarkan untuk mencarikan tempat makan yang lain kalau saya memang tidak yakin atau khawatir makanan dan cara memasak di restoran tersebut bercampur dengan daging babi.

Segera saya dan teman tersebut menemui pemilik restoran. Dengan ramah pemilik restoran menunjukkan sebuah warung makan kecil yang menyediakan menu halal. Warung ini terletak di belakang restoran miliknya. Sang pemilik restoran bahkan mengantarkan saya menuju ke warung tersebut. Pemiliknya adalah seorang lelaki tua yang berasal dari Pattani, Thailand Selatan. Saya sempat pasrah ketika ia berkata warung makannya sudah tutup karena makanan sudah habis. Tetapi ketika ia tahu saya orang Indonesia dan muslim, dengan bahasa inggris patah-patah lelaki dari Pattani tersebut bersedia membuatkan sepiring nasi goreng untuk saya.

***

Kami tiba di Hua Hin sekitar pukul 23.00 waktu setempat. Tempat pertemuannya adalah kompleks yang biasa dipakai sebagai tempat retret untuk umat Katholik. Bukan sesuatu yang mengejutkan bagi saya, karena acara kantor seringkali digelar di lokasi seperti tempat retret, biara, atau susteran Katholik. Di setiap acara kantor seperti ini, kami yang muslim tetap bebas menunaikan sholat atau ibadah lainnya meski berada dalam suasana atau lingkungan yang kental dengan simbol-simbol Katholik.

Acara baru akan dimulai esok harinya. Sebelum peserta pertemuan yang berasal dari beberapa negara itu beristirahat, panitia menyampaikan beberapa informasi, termasuk anjuran bagi peserta yang mau berpuasa untuk memberitahu panitia sehingga makan sahur bisa dipersiapkan tepat waktu. Ketika saya menghubungi panitia, romo atasan saya ikut bergabung bersama saya. “Kamu besok puasa? Saya temani ya. Saya besok juga mau puasa. Nanti kalau sahur tolong saya dibangunin juga.”

Dini hari, saya dan romo sudah berada di aula makan. Tentu tidak ada bunyi kentongan atau suara orang berteriak dari masjid untuk membangunkan orang-orang yang hendak sahur. Aula makan sepi dan semua orang masih terlelap. Tetapi menu sahur sudah tertata di meja dengan rapi. Di ruangan yang dindingnya dipenuhi gambar-gambar rohani dan doa-doa Katholik itulah kami makan sahur bersama sambil terkantuk-kantuk, ditemani bunyi kendaraan yang melintas di jalanan kota Hua Hin. Sampai beberapa hari kemudian, di tengah jadual acara pertemuan yang padat dan melelahkan, saya berpuasa ditemani romo tersebut.

Kebiasaan umat non-muslim berpuasa di bulan Ramadhan bukanlah sesuatu aneh dan mengejutkan. Beberapa teman saya yang non-muslim juga sering berpuasa di bulan Ramadhan karena ingin merasakan nikmatnya berpuasa. Tidak jarang kita mendengar keluarga yang anggotanya memeluk agama yang berbeda-beda juga ikut menghormati anggota keluarganya yang muslim dengan ikut berpuasa di bulan mulia ini.

Di banyak komunitas di negara-negara barat, di kampus misalnya, kebiasaan ikut berpuasa didorong keinginan untuk ikut merasakan kekhidmatan Ramadhan sekaligus penghormatan kepada umat Islam yang menunaikannya. Fenomena ini makin meningkat pasca tragedi 11 September yang memunculkan gelombang Islamophobia dibeberapa negara barat dan Eropa. Di bulan Ramadhan, berbagai komunitas Islam maupun non-muslim di negara-negara tersebut bersama-sama mengkampanyekan Islam sebagai agama yang penuh kedamaian dan anti kekerasan melalui berbagai aktifitas, misalnya berbuka bersama. Yang terbaru, Boris Johnson, walikota London mengajak warganya yang non-muslim untuk ikut berpuasa pada hari pertama Ramadhan sebagai bentuk penghormatan kepada umat Islam di kota tersebut.

Lebih dari itu, puasa bukan hanya tradisi yang ada dalam ajaran Islam, tetapi juga tradisi yang ada di agama lain. Sejak berabad-abad yang lalu, umat Kristiani dan Yahudi juga menunaikan puasa pada waktu-waktu tertentu. Dengan beberapa variasi yang berbeda dalam pelaksanaannya, puasa juga dikenal dalam tradisi bangsa Yunani, Romawi, Mesir kuno, China dan bangsa-bangsa lainnya pada masa lampau. Meski berbeda dalam prakteknya, puasa yang ditunaikan berbagai umat dan bangsa memiliki kesamaan tujuan, yakni tidak sekedar menahan lapar dan dahaga saja, tetapi untuk mencapai keutamaan rohani dan menanggalkan kecintaan berlebihan pada segala sesuatu yang duniawi. Itulah sebabnya Al Quran mengatakan bahwa umat Islam diperintahkan berpuasa agar bertakwa sebagaimana diperintahkan pada umat yang terdahulu. Dengan kata lain, puasa adalah salah satu ritual yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas spiritual seseorang tanpa melihat apapun agama yang mereka anut.

Ramadhan 2006 lalu menjadi sebuah pengalaman spiritual yang mengharukan. Itulah untuk pertama kalinya saya berpuasa di negeri orang yang kebetulan sedang bergejolak karena kudeta. Dan kenikmatan berpuasa itu bertambah lengkap ketika seorang romo atau pastor Katholik ikut menemani saya berpuasa. Toleransi dan penghargaan terhadap keberagaman memang lebih bermakna ketika dipraktekkan secara langsung…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun