[caption id="attachment_217747" align="alignleft" width="199" caption="Foto: http://news.yahoo.com/nphotos/Chinese-writer-Yu-Jie-adjusts-glasses-during-interview-Beijing-/photo//100804/482/urn_publicid_ap_org83999b73a5284ee18de008ee7c05e211//s:/ap/20100804/ap_on_en_ot/as_china_blacklisted_author"][/caption]
Saya ikut bahagia dan mengucapkan selamat kepada mas Wisnu dan juga warga Kompasiana semuanya atas terbitnya buku Pak Beye Dan Istananya (PBDI)-nya mas Wisnu Nugroho. Sebagai warga Kompasiana, saya merasakan kegembiraan dan kecipratan semangat kekeluargaan teman-teman yang hadir dalam acara bedah buku dan launching PBDI tanggal 4 Agustus 2010 kemarin, meski saya tidak bisa hadir dalam acara tersebut.
Beberapa hari setelah beredar, saya juga sudah melihat pak beye bersama mas Wisnu nangkring di di sebuah toko buku di sebuah pusat perbelanjaan dekat rumah saya di Semarang. Terus terang saya memang hanya melihat saja dan belum membelinya, karena kebetulan ada buku lain yang saya incar, sementara uang dikantong terbatas. Tentu saya harus pintar-pintarnya membagi anggaran buku dengan anggaran belanja kebutuhan dapur yang harganya meroket naik dan sempat menjadi topik sindiran bu Mega di Sentul kemarin. Tidak apa-apa ya mas Wisnu?
Sekedar cerita, ketertarikan saya bergabung dengan Kompasiana sejak tahun 2009 adalah setelah ketika tidak sengaja membaca tulisan-tulisan mas Wisnu tentang sisi lain dari penguasa dan kekuasaan di negeri ini. Saking betahnya mempelototi tulisan mas Wisnu tentang pak beye, waktu itu saya sering mendapat teguran dari atasan tempat saya bekerja karena kerjaan terbengkalai dan laporan bertumpuk-tumpuk di meja saya.
Sebagaimana warga Kompasiana lainnya, saya adalah penggemar berat tulisannya mas Wisnu yang renyah, satir dan cerdas. Saking beratnya kegemaran saya pada tulisan mas Wisnu, saya berusaha sekeras mungkin meniru gaya menulisnya. Namun entah kenapa tulisan saya tetap saja lebih mirip makalah atau malah laporan kerja. Terlalu serius, kebanyakan kata sambung, dan bikin ngantuk orang kalau membaca.
Tapi ternyata mas Wisnu ada juga saingannya. Tidak di Indonesia memang, tetapi di China. Kalau di sini sedang ramai membicarakan buku tentang pak beye karya mas Wisnu, negerinya Jet Lee ini sedang ramai membicarakan rencana terbitnya buku kontroversial tentang PM China saat ini, Wen Jiabao, yang ditulis oleh Yue Jie. Buku berjudul “Wen Jibao: China’s Best Actor” ini heboh karena menceritakan sepak terjang sang Perdana Menteri yang dikenal memiliki reputasi baik dan berpikiran maju tetapi ternyata ikut berperan dalam pembatasan kebebasan sipil dan memperkuat peran pada polisi rahasia di negeri tirai bambu itu. Pemerintah China dikabarkan akan melarang buku yang rencananya beredar 16 Agustus 2010 mendatang, dan kabarnya sang penulis diancam akan dijebloskan ke penjara jika tetap nekad menerbitkan buku tersebut.
Siapa Yue Jie? Penulis yang saat ini berusia 36 tahun ini dikenal sebagai penulis yang kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah China. Ia dianggap sebagai pembangkang, sehingga setiap aktifitas, komentar apalagi tulisannya terus menerus diawasi oleh pemerintah China. Yu –bersama koleganya Liu Xiabo- adalah pendiri Independent Chinese PEN Center, sebuah lembaga yang bergerak di bidang pada advokasi untuk membebaskan penulis, wartawan dan penyair China yang dipenjara pemerintah China.
Jadi apa hubungan mas Wisnu dan Yue Jie? Keduanya ternyata memiliki beberapa persamaan. Yang pertama dan paling utama tentu saja keduanya terkenal karena menulis. Bukan tulisan biasa, tetapi tulisan tentang pemimpin yang sedang berkuasa di negeri masing-masing. Sekali lagi, pemimpin yang masih berkuasa, bukan yang telah lengser apalagi meninggal dunia.
Adalagi kesamaan lainnya yang tidak kalah penting. Dalam sebuah tulisan di Associated Press yang saya baca dari situs Yahoo, Yue Jie mengatakan bahwa bukunya terbit untuk menjelaskan perbedaan yang mencolok antara citra sang perdana menteri dengan kebijakan garis kerasnya. Sementara kita tahu tulisan mas Wisnu di Kompasiana –saya tidak bilang di buku PBDI karena belum membacanya- juga menyajikan kepada publik tentang sisi lain dari pak beye yang ternyata begitu njlimet dan ribet untuk urusan penampilan dan pencitraan. Sementara untuk soal apakah citra pak beye sebanding dengan hasil kerja yang bisa dinikmati rakyat, kita semua bisa menilainya.
Persamaan lainnya, mas Wisnu dan Yue Jie sama-sama berkacamata. Ada lagi yang mau menambahi?
Nah sekarang apa perbedaan antara mas Wisnu dan Yue Jie? Yue Jie dikenal reputasinya sebagai pembangkang negara. Sementara mas Wisnu tentu bukan, paling tidak sampai saat ini. Yue Jie menulis ditengah iklim kebebasan pers di China yang tidak kondusif, sementara di Indonesia siapapun boleh menulis dan bicara apa saja di berbagai media tentang pemimpinnya, asalkan tidak menulis tentang kerbau dungu atau babi gendut.
Perbedaan lainnya, kalau Yue Jie bukunya belum terbit sudah diancam akan dimasukkan ke penjara, sementara mas Wisnu menerbitkan buku langsung masuk tivi, diwawancarai presenter cantik di stasiun televisinya pak Karni Ilyas dan katanya juga akan diundang untuk ngobrol di televisinya pak Surya Paloh Jumat sore, 8 Agustus ini.
Setelah membandingkan mas Wisnu dan mas Yue Jie, tiba-tiba saja saya kepengen meniru keduanya. Menulis tentang sepak terjang pak Lurah di kampung saya yang juga pintar tetapi suka mengeluh dan hasil kerjanya nol besar sepertinya awal yang bagus untuk bisa seperti mereka berdua.
Semarang, 8 Agustus 2010
Sumber:
http://news.yahoo.com/s/ap/20100804/ap_on_en_ot/as_china_blacklisted_author
http://www.ifex.org/china/2004/12/15/released_writer_yu_jie_fears_police/
http://internasional.kompas.com/read/2010/08/05/18482189/Buku.Kontroversial.PM.China.Bakal.Terbit
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H