Mohon tunggu...
Saefudin Amsa
Saefudin Amsa Mohon Tunggu... lainnya -

Melihat, membaca, berpikir dan menulis apa saja...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saleh Spanduk...

2 Agustus 2010   07:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:22 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saleh spanduk. Ini bukan nama julukan untuk pak Saleh tukang bikin spanduk yang pasti sedang panen orderan pada musim pilkada seperti saat ini. Ini juga bukan kisah tentang orang bernama Saleh yang tertangkap mencuri spanduk karena iseng atau memang kepepet untuk dijual dan mengisi perut yang kelaparan.

[caption id="attachment_213301" align="aligncenter" width="300" caption="Musim pilkada, musim nampang di spanduk. Foto: www.kompasiana.com/saefudinamsa"][/caption]

‘Saleh spanduk’ yang saya maksud adalah gerombolan orang-orang yang merasa sudah mampu menjadi pelayan rakyat lalu mencalonkan diri menjadi penguasa. Di berbagai kota atau kabupaten seluruh Indonesia yang menyelenggarakan pilkada, wajah-wajah mereka bisa kita saksikan di spanduk, baliho dan poster yang banyak ditempel dan dipasang di pohon-pohon, jembatan, dinding-dinding pasar dan terminal, toilet umum, pinggir jalan raya atau di setiap tempat di mana orang bisa melihatnya. Kemanapun pandangan mata dilayangkan, yang nampak adalah wajah-wajah orang yang sedang bermimpi duduk di kursi bernama gubernur, bupati atau walikota. .

Lihat saja penampilan mereka yang mematut-matut diri di spanduk atau baliho di sekitar rumah anda. Rasa-rasanya dari ujung barat sampai ujung timur Indonesia semua berpenampilan sama; foto close-up, memakai peci, jas lengkap dengan dasi, atau yang perempuan biasanya memakai jilbab. Karena tujuannya untuk menarik simpati pemilih, ada yang berusaha membuat mimik wajahnya berwibawa meski malah terkesan lucu dan konyol. Ada juga yang ingin dianggap santun dengan memasang senyum di wajahnya meski tetap saja terlihat terpaksa. Tidak cukup dengan penampilan fisik, dibuatlah tulisan yang meyakinkan para calon pemilih bahwa mereka adalah orang yang pantas dipilih: jujur, amanah, tidak korupsi, mengayomi dan banyak lagi klaim kebaikan dan kesalehan lainnya.

Inilah yang saya sebut dengan ‘Saleh spanduk’, yaitu fenomena kesalehan yang ditampilkan melalui poster, baliho atau spanduk yang dipakai untuk menarik keuntungan ekonomi politik tertentu, dalam hal ini menarik simpati rakyat kecil untuk memilih mereka menjadi penguasa. Dengan memanipulasi diri melalui simbol-simbol tertentu, para calon kepala daerah tersebut menganggap diri mereka paling baik dan layak dipilih, meski bisa jadi dalam kenyataannya sifat mereka berkebalikan seratus delapanpuluh derajat. Mengaku jujur tetapi kerjaannya suka menilep uang kantor. Mengaku akan memberantas korupsi, tapi rumah dan tanahnya berserak-serak meski statusnya hanya pegawai negeri. Mengaku akan mengayomi, tapi mengacuhkan tetangganya yang hidup serba kekurangan.

Saleh, secara literal dalam bahasa arab berarti pantas. Seorang yang saleh tentulah memiliki sifat dan berperilaku yang pantas dalam kehidupan sehari-harinya di masyarakat. Semoga menjadi anak saleh, itulah doa yang biasanya terucap para orang tua. Harapan terbesar ibu pada anak-anak yang dilahirkannya adalah mendambakan mereka kelak berguna bagi lingkungan dan orang-orang di sekelilingnya.

Jika ditarik ke makna yang lebih luas, seseorang bisa disebut saleh adalah jika ia memiliki perilaku terpuji dan selalu bisa memberi kebaikan bagi orang di sekitarnya. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya, begitu sebuah hadits Nabi menegaskan. Kesalehan seperti ini tentu tidak sekedar klaim, tetapi juga merupakan pengakuan dari orang lain, terutama yang merasakan amal kebaikan dari orang yang dianggap saleh tersebut.

Fenomena kesalehan semu para calon kepala daerah adalah cermin dari wajah bangsa ini yang lebih mengutamakan ritual, simbol atau penampilan luar dalam beragama ketimbang bagaimana meningkatkan kualitas positif pribadi. Selama ini seorang yang dianggap saleh dilihat dari penampilan fisik seperti memakai peci dan sarung, bersurban, berjilbab, rajin ke masjid atau gereja ketimbang bagaimana cara dia bergaul dengan tetangga atau orang-orang terdekatnya. Atau kesalehan seseorang hanya diukur dari gelar akademik karena ia sarjana agama, predikat kultural keagamaan semisal kiai atau haji, atau karena faktor keturunan ketimbang sejauh mana orang tersebut memberikan kontribusi dalam menyejahterakan umat dan ikut terlibat dalam menyelesaikan masalah-masalah kemasyarakatan yang ada. Tidak heran ketika seorang pejabat bisa berpuluh-puluh kali menunaikan ibadah haji, tetapi di kantor berubah menjadi monster rakus penumpuk uang negara. Atau ada seseorang yang merasa sudah saleh karena surbannya tinggi menantang langit, jenggotnya tebal menjurai atau bacaan ayatnya begitu fasih, tetapi nyatanya tidak memiliki sikap menghargai dan malah sering memaksakan kehendaknya pada orang lain yang tidak sependapat dengannya.

Bagaimanapun juga, agama -apapun itu- tidak semata urusan ibadah seseorang kepada Tuhannya, melainkan erat kaitannya dengan ajakan untuk menciptakan harmoni dan keteraturan dalam kehidupan di alam semesta, terutama bagaimana membangun relasi dan pergaulan sosial yang baik dengan sesama manusia. Kesalehan individu seseorang seharusnya seimbang dengan kesalehan sosialnya. Makin khusyuk ibadah seseorang kepada Tuhannya seharusnya juga membuat dirinya semakin menghargai orang lain di sekitarnya. Makin fasih dan merdu bacaan ayatnya, makin santun pula dia seharusnya berkata dan bertingkah laku dengan orang lain. Begitu seterusnya.

Dan kesalehan yang sebenar-benarnya dari para pemimpin negeri ini adalah sejauh mana mereka menjalankan amanah dan tanggungjawabnya dengan baik serta menjadi teladan serta inspirasi bagi rakyat yang dilayaninya. Nyatanya kesalehan seperti ini kita rasakan semakin langka. Yang ada mereka yang sudah merasa paling saleh dengan peci kedodoran dan senyum dipatut-patut, tapi ujung-ujungnya nilep uang rakyat juga…

Semarang, 29 Juli 2010

SA

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun