Dalam isi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, pada Alinea ke-4 di sebutkan bahwa tujuan dari terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah: "Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, Memajukan Kesejahteraan Umum, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, dan Ikut Melaksanakan Ketertiban Dunia yang Berdasarkan Kemerdekaan, Perdamaian Abadi dan Keadilan Sosial", selain itu bunyi dari Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak.
Pendidikan adalah ujung tombak kemajuan sebuah bangsa. Apabila ujung tombak itu tumpul, atau dengan kata lain, pendidikan yang didapatkan tidak berkualitas justru akan membuat kemunduran bagi bangsa itu sendiri. Dengan adanya pendidikan, maka manusia atau seseorang dapat mempunyai pengetahuan, kemampuan, dan sumber daya manusia yang tinggi. Sejatinya pendidikan akan menjadi salah satu modal berharga yang dimiliki untuk tetap hidup di zaman modern ini.
Plato pernah suatu kali berujar bahwa pendidikan adalah untuk membuat orang lebih baik. Sewajarnyalah kalau kita berharap bahwa ketika kita menyekolahkan anak-anak kita, mereka kelak akan menjadi orang baik. Baik dalam arti kata seutuhnya, baik otaknya dan baik juga batinnya serta tentu baik perilakunya.
Ketika kita, Ibu/Bapak, menyekolahkan anak, baik dari mulai TK sampai PT, niat apakah yang termaktub dalam hati kita?
Akankah kita berharap agar anak-anak menjadi manusia baik yang berakhlak mulia? Jawabannya belum tentu juga, sebab kalau sekolah itu bisa membuat akhlak anak lebih baik, artinya mereka yang lulus Perguruan Tinggi akan berakhlak lebih baik daripada yang lulus sekolah menengah. Atau yang lulus S3 akan lebih baik akhlaknya dari lulusan S2, atau S2 dari S1...dst. Nyatanya kan tidak selalu begitu. Jadi artinya, sekolah tidak membuat seseorang menjadi lebih baik akhlaknya. Atau akankah kita berharap agar anak-anak menjadi manusia yang lebih sejahtera penghasilannya, kedudukannya yang menjadi lebih tinggi? Hmm...faktanya tidak bisa juga kan?
Banyak bukti menunjukkan bahwa sekolah tidak berbanding lurus dengan status kemakmuran maupun pangkat seseorang. Sebab kalau itu benar, tentunya kita tidak akan melihat Bu Susi yang tidak lulus sekolah menengah menjadi seorang Menteri Kelautan dan Perikanan. Pastinya kita akan kehilangan peluang orang-orang hebat dan potensial, yang karena tidak sekolah tinggi, maka tidak bisa menduduki jabatan tinggi di negara kita.
Lalu, buat apa kalau begitu sekolah? mari kita reset niat mengapa kita harus sekolah atau menyekolahkan anak-anak kita. Sekolah dan pendidikan, walaupun sejatinya serupa tapi tidak sama. Sebab faktanya bahwa sekolah di Indonesia ini, tidak mendidik akhlak sesorang anak menjadi berpendidikan. Sekolah yang seharusnya jadi tempat mendidik ahlak dan pengetahuan justru hanya sekedar menjadi tempat transfer pengetahuan semata.
Buktinya, kita lebih khawatir angka rapor yang rendah dari pada khawatir tentang perilaku anak-anak kita yang tidak kunjung mandiri dan tahu sopan santun. Ukuran prestasi sekolah anak kita hanya terdiri dari sederet angka-angka tak bermakna bagi pembentukan pribadi seorang anak sesugguhnya. Sangat materialatik.
Orangtua sebetulnya - suka tidak suka - turut andil dalam menciptakan situasi seperti ini. Ini terjadi karena memang niatnya ketika menyekolahkan anak tidak benar-benar lurus. Bahkan sebagian besar orangtua menyerahkan sepenuhnya "nasib" anak-anaknya pada guru-guru di sekolah (padahal guru-guru itu adalah juga manusia biasa, yang punya persoalan dan kewajiban sama terhadap anak-anak kandungnya di rumah, dan pastinya tidak akan lebih baik dari kita sendiri).
Ironisnya lagi, orangtua banyak yang sekarang menekan dan menyalahkan guru, bahkan menuntutnya ke pengadilan, saat terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan pada anaknya...yang hakekat sebenarnya, menunjukkan ketidakmampuan dirinya dalam mendidik anaknya sendiri.
Ibu/Bapak....anak-anak kita sepenuhnya menjadi amanah dan tanggungjawab kita sendiri, bukan guru-guru di sekolah. Sebab sekolah hanyalah media yang sekedar membantu proses pendidikan anak-anak kita. Tidak lebih. Sebab selebihnya adalah tanggung jawab kita sendiri. Karena itu niat kita menyekolahkan anak-anak kita seharusnya yang diperbaiki.
Niat kita menyekolahkan anak adalah dalam rangka kita mendidik anak-anak kita untuk mengenal kenapa dia ada sesungguhnya, bagaimana dia harus hidup dan siapakah yang harus dia yakini untuk ditaati dalam hidupnya. Semua itu bersumber pada apa yang diajarkan oleh Allah, Tuhan Sang Maha Pencipta...
Jenjang sekolah belum tentu berbanding lurus dengan meningkatnya akhlak anak-anak kita. Artinya pendidikan adalah kesatuan utuh yang meliputi semua unsur kehidupan seseorang, dan sekolah hanyalah salah satu bagian dari proses pendidikan. Pendidikan pada hakekatnya akan mampu merubah perilaku seseorang, sehingga ia dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Untuk mampu ke level itu, seseorang harus mendidik dirinya dengan berbagai ilmu; baik ilmu kauliyah (ilmu agama) maupun ilmu kauniyah (ilmu pengetahuan sainstek), baik melalui jalur formal sekolah, jalur pesantren, atau bahkan jalur homescholing.
Semua tergantung niatnya, jika niatnya benar dan Allah ridho pada kita, maka barokah atas apa yang kita pelajari akan melimpah dengan sendirinya bahkan dengan cara yang tidak kita duga. Dan itu mudah bagi Allah SWT.
Pendidikan sejatinya tidak sekedar mengasah otak anak-anak kita menjadi cerdas belaka, tetapi juga mampu mengasah jiwa atau ruhnya menjadi lebih berakhlak. Alangkah eloknya kalau kita melihat anak kita ketika mereka lulus sekolah, mereka cerdas dan juga berakhlak mulia. Santun dalam bersikap maupun bertutur kata walaupun tetap dengan pemikirannya yang kritis dan sangat sigap dalam menyikapi suatu persoalan, baik persoalan yang berkaitan dengan bidang keilmuan atau ipteknya, maupun yang berkaitan dengan masalah-masalah kehidupan di sekitarnya.
Rasul pernah mengatakan bahwa orang yang pintar adalah mereka yang berdimensi akhirat. Artinya orang yang selalu berperilaku dengan mempertimbangkan konsekuensi pada dirinya bagi kehidupan akhiratnya kelak.
Dia percaya bahwa ketidakjujuran atau ketidakadilan akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hari akhir. Setiap langkahnya akan selalu dilakukan dengan mempertimbangkan masa depannya di keabadian, sehingga dia akan selalu berusaha menghindar untuk melakukan hal-hal yang tercela, tidak adil, menyakiti orang lain, mencederai, korupsi atau sebut apa saja perilaku yang tidak pas dari sudut pandang ahlak.
Oleh karena itu kembalikan niat kita pada hakekat bahwa kita menyekolahkan anak adalah karena kita ingin anak-anak kita mengenal Sang Penciptanya, sehingga mereka akan melandasi sikap hidupnya pada apa yang boleh dan tidak boleh atas dasar keyakinan terhadap ajaranNYA. Sikap ini akan membuat seorang anak cinta pada ilmu yang dipelajarinya tanpa dipaksa-paksa, sungguh-sunguh mengkajinya karena rasa ingin tahu terhadap misteri apa yang ada di balik semua yang tercipta olehNYA di alam raya ini.
Hanya dengan niat seperti ini lah, anak-anak kita akan menjadi kaum terdidik yang mampu menjaga perilakunya di satu sisi, dan mampu menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan padanya karena Allah lah yang membuatnya cerdas bukan dirinya sendiri. Semua terasa gampang dan sederhana saja baginya....
Makna lebih jauhnya adalah berarti semua sendi kehidupan di negara kita tidak boleh lepas dari aspek ketuhanan, dan pendidikan ketuhanan adalah melalui agama. Agama, wajib menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pendidikan kita, sebab disitulah ruh atau jiwa anak-anak didik kita diasah agar mereka menjadi insan yang berakhlak. Jadi tidak sekedar cerdas tapi juga pintar.
Pendidikan agama adalah kuncinya, sebab dimensi ketuhanan adalah aspek ruhiyah yang hanya dapat dibenarkan jika disampaikan berdasarkan pada masing-masing ajaran agama yang dianutnya. Kalaupun sekarang banyak kekurangan dalam pelajaran agama, ini bukan berarti pelajarannya yang harus dihilangkan. Tetapi metoda penyampaiannyalah yang harus dirubah agar lebih mengena.
Memang jika diamati pelajaran agama sekarang lebih mengarah pada mengajari anak tentang pengetahuan agama, dan ini artinya sekedar menghapal ajaran agama, bukan pada bagaimana mendidik akhlak anak-anak agar sesuai dengan ajaran agamanya.
Tapi perlu diingat, transformasi merubah perilaku memang butuh waktu lama. Saya ingat di Australia guru-guru disana lebih khawatir anak-anak mereka tidak bisa menerapkan sopan-santun daripada tidak bisa berhitung dalam matematika.
Karena memperbaiki anak salah berhitung hanya memerlukan beberapa jam atau hari saja, sedangkan memperbaiki ahlak seseorang diperlukan waktu tahunan untuk merubahnya! Para pendidik kita perlu duduk bersama untuk membuat proses pendidikan agama di sekolah benar-benar mampu mengasah ahklak anak didik kita agar mereka menjadi insan yang pintar, yaitu tidak sekedar cerdas tapi juga berakhlak mulia
Semoga tulisan ini memberi inspirasi bagi kita tentang makna pendidikan ditinjau dalam dua sisi yang berbeda. Sisi niat duniawi dan sisi pendidikan dengan niat akhirat. Mari kita didik diri dan keluarga kita dengan Sistem Pendidikan Terbaik, Semoga bermanfaat, dan dapat dijadikan rujukan bagi guru dan orang tua....Aamiin..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H