Mohon tunggu...
Mr Sae
Mr Sae Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti

Pemerhati sosial dan kebijakan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Polemik Beras Premium dan Solusinya

1 Agustus 2017   15:29 Diperbarui: 3 Agustus 2017   09:28 2693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://food.idntimes.com

Data statistik menunjukkan bahwa penguasaan lahan sawah oleh petani di Jawa rat-rata per rumah tangga mencapai 2 ribu meter persegi. UU 19/2013: Pemerintah harus menjamin harga produk yang menguntungkan petani, salah satunya melalui struktur pasar yang berimbang. Lebih lanjut Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa: (a) Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,

(b) bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur serta untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasar warga negara, negara menyelenggarakan perlindungan dan pemberdayaan masyarakat, khususnya petani secara terencana, terarah, dan berkelanjutan, (c) bahwa kecenderungan meningkatnya perubahan iklim, kerentanan terhadap bencana alam dan risiko usaha, globalisasi dan gejolak ekonomi global, serta sistem pasar yang tidak berpihak kepada petani, sehingga petani membutuhkan perlindungan dan pemberdayaan, dan (d) bahwa peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku belum mengatur perlindungan dan pemberdayaan petani secara komprehensif, sistemik, dan holistik.

Konteks dari Undang-Undang tersebut adalah? bahwa petani akan mendapatkan jaminan dan kepastian dalam menjalankan usahataninya terutama dalam mendapatkan kesejahteraan melalui aspek harga yang diterimanya. Perlindungan dan pemberdayaan tersebut menuntut pemerintah untuk menjalankan secara konsisten termasuk terhadap kepastian input produki, kepastian pembelian hasil produksi dan harga yang memadai untuk diterima.

Untuk itu pejagaan dan perlindungan aspek hilir melalui jalur tataniaga terutama komoditas beras harus menguntungkan semua pihak baik produsen, pelaku perdagangan dan konsumen dengan azas tidak saling merugikan. Disinilah peran control pemerintah sangat menentukan terhadap mekanisme harga baik dalam prosesing(kualitas) dan pemebentukan harga, untuk itu diperlukan sistem tataniaga yang ideal khususnya komoditas beras. Tata niaga beras yang ideal yaitu dimana persaingan pasar efisien dan adil, yang menguntungkan produsen, pedagang dan konsumen. Agriculture Marketing Service USDA menyatakan untuk menekan gap harga produsen dan konsumen perlu ditempuh dengan pemasaran langsung atau memperpendek rantai manakala diperlukan.

Pertanyaan pokoknya adalah? apakah petani padi mendapatkan bagian yang wajar? atau apakah pedagang mengambil bagian yang terlalu besar? Inilah yang menjadi titik tolak dalam memandang permasalahan perberasan yang menjadi isu bergejolak akhir-akhir ini. Jika dilihat dari ragam beras, maka beras terdiri atas beras curah, beras kemasan biasa dan beras branded consumer product. Beras branded identik dengan beras premium sementara selebihnya dikatagorikan beras medium yang menjadi konsumsi sebagian besar konsumen menengah ke bawah.

Sementara yang dipersalahakan pemerintah adalah kehadiran besar premium dengan tingkat harga yang lebih tinggi di atas beras medium walaupun beberapa variatas/jenis gabahnya sama. Selain itu yang menjadi diskusi menarik adalah? bahwa beras premium mengandung unsur subsidi input dari pemerintah melalui komponen benih, pupuk, air dan alsintan yang kemudian komponen tersebut menjadi keuntungan bagi perusahaan.

Di sisi belum ada regulasi atau ketentuan resmi dari pemerintah terkait segmen pembelian oleh perusahaan terhadap gabah petani.Inilah yang kemudian menjadi plemik lebih lanjut dalam masalah tataniaga tersebut. Kecuali ada pembedaan antara padi yang disubsidi dan padi tidak disubsidi. Namun hal ini hampir sulit dan tidak mungkin dietapkan.

Beras medium memiliki asumsi dan berbagai studi menunjukkan farmer's share mencapai 15-30 persen dan pada kondisi ideal (BUMP di Salaman) bisa mencapai 53%. Pedagang besar dan ritel mengambil total 20-25 persen (Asumsi harga BPS bulan Des 2016)

Di Amerika Serikat, tata niaga pangan, buah dan sayur masih menghadapi persoalan standar mutu (grading); berbeda dengan produk hewan dan turunan. Terdapat kesenjangan farmer's share antar wilayah: terburuk yaitu 17%, sampai kondisi ideal (food hubs), yaitu 75%. Untuk beras "mahal" yang dijual di ritel modern, tentu perhitungan harus dikaji secara mendalam: berapa bagian yang diterima oleh perusahaan pengolah beras dan juga oleh pemilik ritel. Perusahaan tentu mengeluarkan investasi dalam rice to rice industry terutama dari komponen mesin: stoner, shining machine, shifter dll.) dan hal tersebutlah yang membentuk struktur harga.

Untuk itu Pemerintah dalam menyikapi kasus beras akhir-kahir ini tidak perlu menghabiskan energi terus-menerus untuk isu beras "premium" karena struktur harga terbentuk dari proses perhitungan yang matang secara bisnis dan konsumen puas dengan produk tersebut karena berkualitas.

Justru pekerjaan berat ke depan adalah harus dilakukan upaya yang serius untuk: (a) meningkatkan produktivitas (bukan jumlah produksi), misal penggunaan benih Inbrida bersertifikat 43,5 %. Biaya benih terendah dari 6 produsen, (b) perbaikan mekanisme subsidi, baik input juga harga, serta bantuan sarana-prasarana kepada petani perlu dievaluasi, (c) Perbaikan sistem akurasi data produksi, (d) Mengampanyekan secara masif upaya diversifikasi pangan, dan (e) Melakukan sinergisitas dan kolaborasi Kemtan/KL yang lebih erat dengan PT Pertanian, lembaga riset independen, LSM dan dunia usaha.

Untuk itu pendekatan Harga Eceran Tertinggi (HET) menjadi patron yang lebih tepat untuk menghindari berbagai bias dalam tataniaga yang diatur secara legal dan kuat. HET harus mempertimbangkan biaya produksi harus didefinisikan dengan jelas. Produksi adalah proses mengubah input menjadi output, yang diindikasikan adanya perubahan fisik. Perusahaan pengolah beras menggunakan input gabah petani diolah menjadi beras medium dan premium.

Dalam dunia industri saat ini juga dikenal dengan R2RP, atau rice to rice processing. Beras ditingkatkan kualitasnya dari sisi kandungan beras kepala, warna, kotoran atau benda asing dan juga rasa (preferensi konsumen). Biaya distribusi harus dibedakan antara pemasaran melalui pasar becek dan melalui ritel modern. Sudah diketahui awam, harga produk pertanian yang sama dapat berbeda dua kali lipat di kedua tempat tersebut. Di Indonesia tidak ada aturan yang secara tegas membatasi keuntungan para pelaku usaha (profiteering). Dalam prinsip ekonomi. apabila pelaku usaha memperoleh keuntungan yang sangat besar (rasio harga dan biaya marjinal), maka diindikasikan ada persaingan tidak sehat. Untuk dapat menyatakan hal itu perlu investigasi secara mendalam.

Untuk beras, yang inputnya dihasilkan oleh lebih dari 80 persen petani yang secara UU wajib dilindungi, tentu saja penetapan HET dapat digunakan untuk menilai apakah struktur pasar berimbang: apakah setiap aktor yang terlibat dalam rantai nilai: petani, perusahaan pengolah beras dan pedagang memperoleh bagian yang proporsional (trade fairness).

Untuk mencapai HET yang ideal perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut: (1) Pengumpulan data secara akurat: biaya produksi riil petani padi untuk berbagai varietas dominan (Ciherang, IR dll.) dan varietas lokal; biaya yang dikeluarkan oleh setiap aktor dalam rantai nilai (pedagang pengepul, penggilingan, pedagang besar, pengecer di pasar becek dan pengecer di pasar modern), (2) Singkronisasi data harga gabah; harga beras di penggilingan; harga beras di grosir dan harga beras di pasar eceran antar institusi Pemerintah, (3) Membandingkan rasio keuntungan terhadap biaya yang dikeluarkan oleh setiap aktor, bukan hanya marjin. Proporsional atau berimbang atau wajar dilihat dari rasio tersebut, bukan besaran/nominal, dan (4) Penegakan sanksi atas pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan.

Prinsip dari kebijakan atau langkah tersebut adalah untuk menuju win win solution atau terciptanya pasar yang berkeadilan yaitu produsen untuk, pelaku pasar/perusahaan untung demikian halnya dengan konsumen. Jadi substansi adalah masalahnya bukan menganulir keberadaan dan peran perusahaan sebagai fungsi supply dan lembaga bisnis namun sekaligus ikut serta meningkatkan pendapatan petani melalui pembelaian harga di atas HET dan berfungsi sekaligus sebagai control harga pada saat persediaan atau panen melimpah.

Jika faktor harga yang terlalu tinggi menjadi permasalahan sebaiknya didudukkan kembali berapa harga yang layak sesuai setelah menghitung seluruh variabel cost produksi. Atau fungsi bulog di aktifkan kembali tidak hanya sebagai buffer stok/stabilitas harga namun perlu memikirkan aspek bisnisnya ke depan jika pemerintah merasa kawatir terhadap derasnya fungsi bisnis perusahaan. Bukan diplintir kearah yang semakin tajam yaitu politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun