Headline Kotaksuara | Ilustrasi/Admin (Kompas.com)
**************
Keinginan Politik dan Kekuasaan Memperkuat dan menyuksesakan cita cita mulia demokrasi sebagai amanat dari UUD 1945 jauh lebih pentting dan utama dibandingkan hanya ingin berbondong bondong memasuki panggung politik dalam rumah demokrasi, mengapa?karena sesungguhnya tujuan utama politik adalah berujung pada kesejahteraan rakyat dan menyelesaikan masalah hidup mereka. Inilah indikator utama seluruh rangkaian kerja kerja yang dibangun selururh partai melalui kader kadernya. Jika hasil proses politik sebaliknya yaitu mengambil hak haka rakyat dan mendekatkan mereka dengan masalah hidupnya, maka wajralah jika seluruh komponen pembangun demokrasi melalui politik dikatakan sebagai pecundang, bahkan lebih dari itu adalah penghianat amant rakyat. Untuk memenuhi keinginan politik dan mendapatkan kekuasaan yang spiritnya untuk rakyat, partai politik melakukan 2 pendekatan untuk mencapai tujuanya: Pertama mengoptimalkan peran penggalangan dana sebagai biaya operasional partai dan protokoler politik, dan Kedua, optimalisasi penciptaan dan peran kader sebagai ujung tombak bahkan ruh dari aktivitas politik. Khusus terkait peran kader, parpol melakukan penjaringan caleg melalui dua mekanisme yaitu kader internal dan kader eksternal atau pihak luar yang dianggap mumpuni dan mampu mendongkrak suara partai dan pengaruhnya di legislatif di rekrut, namun faktor kepemilikan modal/uang jauh lebih penting lagi jika memposisikan sebagai caleg. Memang hampir semua partai mengalami kesulitan dalam melakukan proses pengaderan sesuai yang diinginkan/kehendaki tujuan tujuan partainya, sehingga mengambil pihak luar merupakan pilihan berikutnya, baik dari kalangan akdemis, tokoh, profesionel hingga dari veteran/jebolan partai lain (istilah caleg kutu loncat).Tidak sedikit dari mereka yang berduyun duyun menjadi pengurus partai dan caleg. Kaum intelektual yang menjadi lemah dalam melihat realitas politik yang ada. Mereka ikut-ikutan menjadi tim sukses bahkan caleg. Bahkan tidak sedikit sebagian pengamat, komentar mengikuti kehendak pesanan. Kaum intelektual tidak lagi menjadi punggawa demokrasi dan malah ikut-ikutan dalam desain ini. Mereka menjadi lemah, hanyut dalam emosi dan sebagian malah ikut-ikutan menjadi konsultan politik atau tim sukses capres tersebut. Keterlibatan mereka dalam arena politik tidak menjadi masalah karena itu adalah hak mereka, namun prinsip dasar yang harus dijaga dan tetap menjadi prinsip adalah mereka tidak boleh melakukan kebohongan politik melalui pembentukan opini palsu dan manuver politik yang tidak elegan. Kebohongan Propaganda Aktor Politik Kasus metamorfosa politisasi Jokowi dan Ahok bisa menjadi bukti kongkrit, betapa publik dibius sedemikian rupa sehingga tidak mampu rasional dalam memilih pemimpin hanya dengan hanya berjualan kepolosan berbicara, penampilan apa adanya dan blusukkan sebagai jargonya. Harapan itu wajar karena masyarakat Jakarta ingin perubahan dan jenuh dengan kepemimpinan sebelumnya yang belum bisa memenuhi keinginan rakyat Jakarta. Berbondong bondong dan bersatu padu seluruh kekuatan pemilih yang dikondisikan oleh media dan investor untuk merebut DKI ke tangan Jokowi Ahok dengan janji janji manisnya. Masyarakat Jakarta hanya berharap 2 hal yaitu benahi kemacetan dan banjir, jika 2 hal itu sudah teratasi, pasti jempol akan diberikan utuk Jokowi dan Partainya yaitu PDIP. Namun belum genap 2 tahun Jokowi Ahok tuntaskan banjir dan macet warga Jakarta dikejutkan oleh pencalonlan resmi Jokowi sebagai salah satu Calon Presiden dari PDIP jelang kampanye terbuka. Seluruh media tidak terlalu reaktif terhadap keluarnya Jokowi dari DKI dan Jokowi masih menyisakan PR besar serta belum memenuhi janji janjinya saat kampanye ke masyarakat Jakarta. Prabawo menyebut Jokowi dan PDIP sebagai pembohong karena melanggar kesepakatan untuk memimpin 5 tahun kedepan. Realita lain menunjukkan bahwa Jokowi bukan realita obyektif keinerjanya, namaun hanyalah bentukkan opini media dan tim suksesnya. Anehnya media juga berbondong bondong menciptakan opini besar Jokowi, bahkan didorong untuk nyapres. Media dan sejeinisnya termasuk beberapa akademisi dan pengamat juga terjebak dalam hipnotis para aktor politik. Kembalikan Tujuan Demokrasi Jika hal ini terjadi, maka tradisi politik yang semakin positif dengan kepemimpinan yang semakin kuat dan visioner tidak akan pernah terjadi. Dengan demikian media ikut terlibat dalam menyeret nyeret demokrasi Indonesia mejahui kemapanan. Proses perjalanan demokrasi tidak hanya membutuhkan kerja keras dan profesionalitas serta kejujuran politisinya dalam membangun dan mebersarkan Indonesia, namun diperlukan kontribusi dan pengawalan yang progresif dari para intelektual dan akademsi, agar masa depan demokrasi dan Indonesia menuju pada kepastian. Bukan sebaliknya semua ikut bermain dan tidak ingin menjadi penonton atau pengamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H