Mohon tunggu...
Mr Sae
Mr Sae Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti

Pemerhati sosial dan kebijakan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilpres! Bukan Sekedar unjuk Visi

12 Juni 2014   16:28 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:05 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beda memang karakter dan mentalitas politikus, prajurit, pengusaha, birokrat demikian halnya jurnalis, pengamat dan akademisi apalagi praktisi.

Pilpres kali ini merupakan kombinasi:

Prajurit, pengusaha/ekonom, politisi dan birokrat.

Prajurit, memiliki mentalitas dan visi yang jelas dan tegas untuk negara dan bangsanya. Kejujuran dan kedisiplinan adalah icon sebagai syarat untuk sukses dikariernya apalagi di balut dengan kecerdasan. Bagi seorang prajurit pertempuran un tuk menghancurkan musuh dan hal hal yang membahayakan dan mengancam adalah hal diinginkan. Prajurit selalu mengatakan, “tidak ada permasalahan yang tidak bisa diselesaikan demi harga diri dan martabat bangsa dan negara”. Prajurit cara berfikirnya bukan prakmatis tapi realitis dan kritis.

Pengusaha, memiliki visi yang fokus yaitu keuntungan finalcial dan membahagiakan oran lain dalam berbagi sumberdaya (kue). Waktu dan perhitungan tepat/akurat adalah aset termahalnya. Membaca peluang adalah keahlianya, karena peluang adalah momentum untuk meningkatkan outptnya sebesar modal dan kekuatanya. Pengusaha memandang seluruh yang dihadapanya adalah target dan berpotensi uang. Dia sudah terbiasa jatuh dan bangun sebelum menjadi besar/sukses. Maka, mentalitas pengusaha 1: 1000, maka ia adaalah sosok unik dan mahal untuk kebanyakan orang.

Politisi, adalah sosok darimanapun ia berasal karena suara yang diraih menjadi simbol ia melenggang dalam kursi jabatan. Suara rakyat mudah untuk didapatkan untuk mendapatkan jabatan hanya dengan membayar sejumlah orang dengan uang yang dimilki. Berbagai cara dilakukan untuk menempuh tujuan, walau kadang harus berbohong untuk mengatakan. Politisi selalu pragmatis dalam sikap dan kata katanya, ia gunakan seluruh potensi kamuflasenya untuk menghambat lawan demi membesarkan dirinya dan partaiya. Bersahabt tapi selalu ada motif take and give, walau semua sifat ini tidak selalu benar. Politisi cenderung memikirkan partainya dibandingkan segalanya. Politisi menghindari pertempuran besar guna meminimalisir besarnya kerugian.

Birokarat, pekerjaan birokrat adalah pekerjaan administrasi dan pelayanan publik. Input dan outputnya jelas. Tupoksi, SOP dan sejenisnya adalah kerangka kerjanya. Semua daftar keinginan dan cita cita sudah tertuang dalam perencanaan diawal tahun. Pekerjaan birokrasi tidak rawan konflik dan perdebatan, karena seluruh pekerjaan diselesaikan dengan cara cara sederhana dan cepat hasilnya. Birokrat memandang semua pekerjaanya sederhana, karena itu semua bisa diselesaikan dengan bersama sama. Namun, birokrat tidak bisa melihat reaalita dengan obyektif dan cepat mencernanya. Birokrat adalah pekerjaan antara loyalitas bawahan dan pimpinan. Ssemangat untuk berkarya, prestasi bahkan kritispun tidak mendapatkan ruang yang luas kcuali atas perintah dan kehendak pimpinanya. Birokarsi adalah lingkungan dan dunia sederhana yang bisa dilakukan siapa saja.

Tentu jika bicara karakter masing masing sangatlah berbeda. Lalu untuk capres dan cawapres siapkah yang paling layak dan unggul?itu sangatlah tergantung dengan kombinasi yang ada.

Seorang presiden dinegara manapun dipilih oleh rakyatnya hanya untuk  2 hal, yaitu mampu memberikan perubahan kehidupan rakyatnya dan mampu memimpin untuk keutuhan bangsa dan negara. Jika, presiden dipilih bukan karena 2 itu, maka pemilihnyalah yang bermasalah, mislanya karena untuk kepentingan tertentu.

Maslah bangsa ini tidak hanya masalah administrasi dan biorokrasi atau anggaran. Namun permasalahan bangsa dan negara ini sangat komplek mulai ekonomi, politik, sosial, pertahan dan keamanan serta keutuhan serta jati diri bangsa. Pemimpin identik dengan leadership dan leadership identik memiliki kemapuan segala galanya melebihi yang dimilki oleh hanya seorang kepala daerah/birokrat. Prseden adalah kombinasi kekuatan leadership, intusi politis, ekonomi dan birokrasi.

Syarat presiden tidak sederhana. Ia haruslah seorang yang cepat merespon dan bertindak cepat dalam megahadapi masalah apapun apalagi menyangkut kemanan dan ancaman bangsa. Ia tdak bisa hanya menyerahkan masalah tersebut kepada bawahanya, tapi  presidenlah yang memiliki kecerdasan dan kearifan dalam melakukan kebijakan.

Seorang presiden harus/musti berwasan luas baik nasional dan iternasional, termasuk harus menjadi pribadi pembelajar yang cepat. Presiden disegani dan tidak diremehkan rakyatnya.Presiden adalah harga diri dan kebanggan rakyatnya bukan sebaliknya.

Presiden mampu berdiri sendiri diatas pijakan kakinya sendiri bukan kaki orang lain. Prsiden adalah otak, tulung punggung dan jantunya Indoensia bukan siapa siapa atau asing. Presiden adalah miniator kejujuran, kecerdasan, kearifan dan keteladanan. Presiden adalah bekerja untuk rakyatnya bukan memenuhi jasa baik pendukungnya.

Presiden adalah pertautan antara KEKUATAN KEPEMIMPINAN, PEJUANGAN, PENGORBANAN, KEJUJURAN, KEBERANIAN, INTEGRITAS DAN PENGAYOMAN.

Baimana jika presiden kita seperti ini?

Jika saja apa yang berseliweran di media sosial bahwa materi debat capres ‘bocor’ sebelum waktunya, sejatinya kita memang bangsa pecundang. Kita hanyalah bangsa pinggiran, yang menaruh kejujuran hanya sejengkal saja dari keranjang sampah peradaban.

Itu bila benar bahwa pada pertemuan antara anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay dengan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan dan Ketua DPP PDI Perjuangan Trimedya Panjaitan, yang dipergoki Arif Poyuwono, aktivis Serikat Pekerja BUMN pada sekitar 23.00 Minggu (8/6) malam itu memang mengagendakan ‘pembocoran’ materi debat. Bila memang kongko di Resto Satay House Senayan, Menteng, Jakarta Pusat, itu tak lebih laiknya anak-anak SMP lancung yang bertemu di 7 Eleven, guna membahas bocoran soal UAN.

Tetapi kita tahu, paling tidak hingga tulisan ini dibuat, semua itu baru kemungkinan. Tak soal, apakah kemungkinan itu sedemikian besar, atau kecil saja, kecuali panas hati para pengunggahnya yang mungkin berkobar-kobar hingga menjilat kepala.

Biarlah soal Haidar Gumay kita kembalikan kepada KPU; soal Komjen Budi kita serahkan kepada Polri. Kalau Pak Trimedya, sebagai wakil rakyat, tentu kita sebagai rakyat yang punya otoritas untuk menghukumnya melalui Pileg—yang sayang sekali masih jauh, 2019 mendatang.

Biar pula Arief Poyuwono menyingkap sendiri apa yang menjadi bahan bisik-bisik antara Komjen Budi dengan Trimedya, anggota Tim Sukses jokowi-JK, seperti ditulis Tribunnews.

Saya bahkan tak berpretensi untuk menyoal sebagian kalangan yang katanya melihat betapa di malam Debat Capres itu Pak Jokowi sangat percaya diri—setelah pada beberapa momen terlihat kikuk tak pede, dan—menurut mereka, seolah sudah mengetahui materi pertanyaan yang diajukan kepadanya.

Tidak juga untuk membahas apa yang disampaikan Koordinator Presidium Jaringan Muda Nusantara (JMN) Muhlis Ali, bahwa Pak Jokowi dalam debat itu kerap membaca catatan-catatan yang disiapkan sebelumnya, atau bahkan dikatakan ada sesi dimana Pak Jokowi dapat mengulang tiga pertanyaan moderator, dengan redaksional yang hampir sama persis.

Yang bisa kita bicarakan dalam keterbatasan informasi saat ini, seandainya pembocoran itu benar adanya, adalah sebagai rakyat, kita layak bertanya kepada pihak yang mendapatkan bocoran itu.

Mengapa dia merasa harus punya bocoran materi debat, sementara apa yang akan ditanyakan berkisar seputar niat, tujuan dan apa yang ingin ia lakukan untuk kebesaran nama Indonesia di masa depan? Bukankah semua itu sudah tersedia di kepalanya, sudah tertanam dalam di keikhlasan batinnya?

Mengapa dia memerlukan contekan, yang sejatinya hanya menunjukkan betapa tidak percayanya dia akan dirinya sendiri? Sesuatu yang bagi seorang capres tentu saja persoalan mendasar. Bagaimana mungkin calon pemimpin tertinggi negeri ini masih menderita krisis percaya diri, yang tentu saja terkait erat dengan rasa rendah diri aliasinferiority complex ? Bagaimana tidak bisa disebut rendah diri, bila ia pribadi meragukan kapasitas memori di kepalanya sendiri untuk bisa mengingat apa yang ia percayai?

Di atas semua itu, yang lebih mendasar , siapapun capres yang terlibat dengan pembocoran itu telah mencontohkan ketidakjujuran. Ia memberi teladan bahwa tujuan menghalalkan cara. Ia seorang yang nyata-nyata berniat melestarikan ketidakjujuran yang di sini nyaris mengakar menjadi budaya.

Padahal, kata mantan Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU) Hasyim Muzadi, saat ini Indonesia lebih memerlukan pemimpin yang jujur, bukan pemimpin ‘pemain’. Hasyim bahkan mewanti-wanti, kehancuran suatu negara, kata dia, bukan karena pemimpinnya tidak pintar, melainkan karena tidak memiliki kejujuran.

Yang harus dihindari, kalau selama ini setiap tahun kita disibukkan oleh isu bocoran soal UAN, maka tak elok kiranya bila setiap lima tahun, terhitung saat ini, kita pun disibukkan oleh isu bocornya materi debat capres.

Sungguh ironis dan tragis, kita memiliki seorang calon presiden yang tidak sesuai harapan. Inilah sejarah terbaik buat Indonesia ke depan, agar rakyat dan siapaun sadar dan realitis dalam memilih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun