Mohon tunggu...
Mr Sae
Mr Sae Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti

Pemerhati sosial dan kebijakan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gangguan pada Ahok

13 Februari 2015   18:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:15 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyedihkan dan tidak habis pikir mendengarkan statemen Ahok di media terkait banjir Jakarta. Secara menyeluruh statemen dan sikap Ahok cenderung tidak kooperatif dan menyalahkan pihak lain serta tidak memberikan solusi yang kongkrit tentang masalah yang dihadapi Jakarta saat ini terutama soal banjir.

Ahok memposisikan diri sebagai super power/membenarkan diri alias tidak mau mengkaui kesalahanya sebagai Gubernur DKI. Seharusnya Ahok memberikan solusi kongkrit dan memacu seluruh  jajaranya dan pihaklain untuk bahu membahu mengantisipasi dan mencegah air tumpah ruah di sepanjang Ibu Kota kebanggaan Indonesia.

Jika mengamati dan membaca karakter Ahok yang demikian, dimungkinkan ada 3 hal yang bermasalah dengan Ahok. Pertama, Ahok merasa tidak nyaman atau kurang power full sebagai gubernur DKI. Hal ini bisa terjadi karena pelantikan dan legalitas Ahok sebagai Gubernur DKI setelah Jokowi masih menjadi catatan DPRD DKI, yaitu tidak kuorum saat pemilihan (cacat prosudural dan tidak mendapat dukungan penuh DPRD). Kedua, Ahok pasca ditinggalkannya Jokowi (plus dukungan politik PDIP yang berkurang), membuat psiklogis kepemimpinannya terganggu/tidak stabil dan cenderung otoriter. Karakter keras dan tidak kooperatif Ahok ini muncul dan kentara saat mengambil berbagai kebijakan krusial di DKI. Dalam posisi ini Ahok tidak muncul dankuat leadershipnya, tapi cenderung ekseklusif dan otonom. Ketiga, Ahok berangkat dari Babel menuju DKI yang penuh dinamika dan permasalahan krusial baik sosial, budaya,ekonomi, keamanan dan pertahanan. Di Jakarta sangat jauh perbedaanya dengan Babel apapaun variabel pembedanya. Ahok di Babel mungkin bisa memposisikan sebagai raja/power full karena kultur dan tarikannya berbeda dengan DKI. Sikap inilah yang membuat Ahok sering mendapat kritikan/kecaman warga Jakarta karena tidak layak mengeluarkan kebijakan atau statemen yang menyakitkan orang lain/pihak lain. Ahok belum bisa mengubah karakter pribadi dan kemepimpinanya prototype Jakarta yang dinamis dan penuh kemajemukkan. Sikap arogan, keras kepala dan mau sendiri membuat seluruh pihkanya marah kepadanya, salah satu indikatornya adalah seluruh staf/aparat tidak bekerja secara optimal.

Jika mengaca 3 hal tersebut di atas, seharusnya Ahok segera merubah sikap dan cara pendekatan mengelola atau memimpin Jakarta. Ahok harus lebih bijak dan berhati hati dalam segala hal khususnya dalam menyangkut masalah agama/idiologi (privat). Jika Ahok tidak mampu menjaga hal penting ini, maka tidak menuntut kemungkinan jabatanya tidak memberikan pengaruh apapun/berarti bagi masyarakat Jakarta. Masyarakat Jakarta adalah masyarakat majemuk dan penuh dinamika, dan Ahok harus ingat itu.

Ahok seharusnya tidak menyalahkan Gubernur sebelumnya atau pemerintah pusast, namun Ahok harus memberikan solusi terbaik terhadap masalah besar yang dihadapi masyarakat Jakarta saat ini. AHOK BERUBAHLAH ENGKAU SEGERA.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun