Tambang tersebut selain menjadi bom waktu bagi masyarakat setempat juga ada ancaman dari limbah sampah, karena tepat diatas lokasi galian merupakan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tempat Pembuangan Sampah itu sendiri dibuka sekitar tahun 1984, dan hanya dipisahkan oleh badan jalan yang beraspal yang mulai mengelupas.
Untuk menuju ke TPA atau bagi pecinta alam yang ingin mendaki Gunung Tampomas, yang konon memiliki ketinggian mencapai 1.965 meter tersebut, harus terlebih dahulu melewati lokasi tambang galian C. Sepanjang jalan kurang lebih 1 kilometer setelah melewati Desa Cibereum Wetan terlihat jelas tambang tersebut hanya dipisahkan oleh badan jalan beraspal yang sudah rusak, jika pengendara kendaraan tidak ekstra hati-hati dapat terperosok kedalam lubang yang memiliki kedalaman kurang lebih mencapai 50 meter itu.
Cerita Masyarakat:
Sebelum adanya tambang galian C, dulunya kawasan tersebut merupakan kebun warga. Yang ditamami sayur-sayuran seperti,Cabai,Terong,Tomat,Sawi,dan Bawang Daun. Namun seiring berjalannya waktu masyarakat mulai tergoda dengan iming-iming dari sejumlah pengusaha tambang,yang lahannya dijual kemereka, warga setempat menyebutnya. Perbata sama dengan 10 meter persegi, dijual dengan harga Kurang lebih Rp.400 ribu, harga tersebut terbilang sangat murah bila dibandingkan dengan harga pasir satu truk ukuran sedang deangan harga kurang lebih Rp.450 ribu. Karena pengerukaannya hingga begitu dalam.
Kerusakan badan Jalan dan Pungutan Warga:
Sepajang jalan Desa Conggeang hingga Polsek Legok Wetan kondisi badan jalan berlubang disana-sini hingga masuk ke pintu tambang kondisinya tak berubah. Diperkirakan kurang lebih ada 20 pos pungutan liar (pungli) jaraknya kuranglebih 10-15 meter dari masing-masing pos baik yang dilakukan oleh warga, mereka umumnya menjual berbagai minuman baik air mineral maupun minuman berenergi, selain truk keluar mereka kenakanRP.1000 untuk air mineral jika tidak membeli maka mereka dikenakan pungutan Rp. 500, dengan demikian maka hasil uang pungutan tersebut digunakan warga utuk memperbaiki jalan-jalan di lingkungan mereka. Menurut salah satu suber Ibu Nur (31) yang berhasil ditemui dilokasi menyebutkan, dalam satu hari penghasilan bersih mereka yaitu Rp.25.000, dan sisanya disetor untuk khas desa. Selain pungutan liar yang dilakukan warga. Dinas Pekerjaan Umum (PU) setempat juga melakukan pungutan serupa atau intilahnya pungutan resmi pemerintah. Setiap truk yang lewat dikenakan bea sebesar Rp.2000. dalam waktu 24 jam nonstop, diperkirakan lebih dari 200 truk yang hilir mudik mengangkut material hasil tambang untuk dibawa ke berbagai wilayah. Ditulis oleh (Sf).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H