Mohon tunggu...
Sadiyatul Rahma
Sadiyatul Rahma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

saya memiliki hobi menari karena dengan menari saya bisa mengekspresikan diri saya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menggali Lebih Dalam Permasalahan Mengenai Quarter Life Crisis dan Cara Menghadapinya

21 Desember 2023   07:30 Diperbarui: 21 Desember 2023   12:49 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

bing.ai 
bing.ai 
bing.ai 
bing.ai 

Hanna Fawza Alfiyyah, Sa'diyatul Awalia Rahma, Zhafira Adna Humaira, Rahmawati Rahmawati

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Pendahuluan tentang Permasalahan Quarter Life Crisis

Apakah Anda pernah merasa seperti berada di persimpangan jalan, bingung harus memilih arah mana yang harus diambil? Atau merasa terjebak dalam rutinitas yang monoton dan bertanya-tanya, 'Apakah ini yang seharusnya saya lakukan dalam hidup?' Jika jawaban Anda adalah 'ya', maka Anda mungkin sedang mengalami apa yang disebut dengan 'quarter life crisis'.

Quarter life crisis adalah fenomena yang biasanya dialami oleh orang-orang berusia antara 18 hingga 20 tahunan keatas. Mereka merasa cemas dan bingung tentang masa depan mereka, karir, dan tujuan hidup. Namun, jangan khawatir. Artikel ini akan membantu Anda memahami lebih dalam tentang quarter life crisis dan bagaimana cara mengatasinya. Mari kita jelajahi bersama-sama.

"It's only after you've stepped outside your comfort zone that you begin to change, grow, and transform." - Roy T. Bennett

Apa itu Quarter Life Crisis?

Istilah quarter life crisis digunakan untuk menggambarkan kondisi emosional yang dialami oleh orang-orang yang sedang bertransisi dari masa remaja menuju masa dewasa (Martin, 2016). Robbins dan Wilner (2001), menyebutkan bahwa quarter life crisis adalah krisis identitas yang disebabkan oleh ketidakpersiapan seseorang dalam menghadapi peralihan dari masa muda ke masa dewasa. Ketidakpastian dalam mengambil keputusan, putus asa, pandangan diri yang tidak baik, merasa terjebak dalam situasi yang menantang, kecemasan, depresi, dan kekhawatiran terhadap hubungan interpersonal adalah tujuh hal yang dialami seseorang ketika menghadapi quarter life crisis.

Kelompok usia 18-25 tahun dikenal sebagai emerging adulthood, yaitu masa transisi dari remaja ke dewasa (Arnett, 2014). Meskipun banyak yang berpikir bahwa usia 20 tahun adalah titik awal kedewasaan (Martin, 2016), rentang usia 18-29 tahun masih dianggap sebagai masa transisi karena seseorang mungkin masih mengalami krisis transisi di usia 20-an (Arnett, 2014). Mereka yang melalui fase peralihan dari masa remaja ke masa dewasa merasa berada di antara dua kutub, yaitu menjadi orang dewasa dan remaja. Mereka merasa telah mencapai usia dewasa tetapi belum benar-benar menjadi dewasa. Pada saat transisi ini, mereka bereksplorasi karena ada banyak tuntutan yang berbeda dibandingkan dengan tahap sebelumnya (King, 2014).

Setiap orang mungkin mengalami masa transisi dengan cara yang berbeda-beda selama prosesnya. Ada yang bersemangat untuk memulai fase baru dalam hidup mereka (Nash & Murray, 2010), namun ada pula yang merasa tersesat ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan baru dalam hidup, yang dapat menimbulkan ketegangan, kekhawatiran, dan rasa hampa (Martin, 2016). Arnett dalam King (2014), menggambarkan tahap dewasa awal ini sebagai tahap yang tidak stabil.

Berdasarkan Erikson, Robinson, dan Wrig (2013), menyebutkan bahwa krisis yang dialami seseorang ketika beranjak dari masa remaja ke masa dewasa merupakan hal yang wajar. Robinson dan Wrig (2013), juga menyebutkan bahwa orang yang mengalami quarter life crisis biasanya akan melewati beberapa tahap. Pada awalnya, ia akan merasa tertekan oleh pilihan-pilihan yang harus diambilnya dalam hubungan atau karir. Selain itu, ia juga mulai menjauhkan diri dari rutinitas hariannya. Mulai saat itu, ia mempertimbangkan pilihannya dan merenungkan kehidupan yang baru. Ia akan beralih ke tahap terakhir yaitu menciptakan eksistensi baru yang lebih aman jika ia telah menemukan apa tujuannya.

Apa yang Terjadi Jika Kita Berhasil Melewati Fase Hidup Ini?

Orang yang berhasil mengatasi quarter life crisis akan memiliki kehidupan yang lebih stabil, serta lebih siap untuk menghadapi tantangan di masa depan. Mereka yang berhasil melewati quarter life crisis juga akan menyadari bahwa terkadang perubahan yang tidak menyenangkan diperlukan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan (Argasiam, 2019). Meskipun demikian, mereka akan terus merasakan ketidakberdayaan, ragu-ragu terhadap diri sendiri, dan takut gagal saat masih terjebak (Martin, 2016). Perasaan takut gagal dalam mencapai tujuan jangka panjang, dan ambisi hidup juga dialami oleh mereka yang mengalami kegagalan (Pande, 2011).

Menurut Arnett, Robinson, dan Wright (2013), ketidakstabilan emosional yang dialami seseorang dapat meningkatkan risiko terkena penyakit mental. DiTommaso & Spinner (1993), menyebutkan bahwa kesepian dapat terjadi pada orang yang masih menarik diri dari lingkungannya atau yang lebih dikenal dengan istilah isolasi. Perlman & Peplau (1981), menyatakan bahwa ketika harapan untuk berinteraksi sosial tidak terpenuhi, maka akan menimbulkan kondisi kesepian yang tidak menyenangkan.

Tahapan-Tahapan Quarter Life Crisis Menurut Robinson

 Menurut Robinson (2011), ada lima tahap yang dialami oleh seseorang yang mengalami quarter life crisis, yaitu: (1) Menghadapi dilema dalam banyak pilihan dan kesulitan dalam membuat keputusan hidup; (2) Merasakan tekanan yang kuat untuk mengubah situasi saat ini; (3) Melakukan tindakan-tindakan drastis, seperti meninggalkan pekerjaan, mengakhiri hubungan, serta mencoba pengalaman baru; (4) Membangun fondasi yang baru di mana setiap orang dapat mengatur tujuan hidupnya; dan (5) Membangun kehidupan yang lebih berfokus pada minat dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap individu.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Quarter Life Crisis

 Quarter life crisis dipengaruhi oleh dua faktor: faktor eksternal dan faktor internal. Individu dapat mengalami quarter life crisis karena faktor internal yang muncul saat mereka menjadi dewasa dan memiliki karakteristik baru. Eksplorasi identitas, di mana orang dengan tulus mencari identitas mereka sendiri dan memikirkan topik-topik yang tidak pernah mereka pertimbangkan sebelumnya, adalah salah satu faktor internal. Proses ini dapat menyebabkan kecemasan dan kebimbangan, yang meningkatkan risiko seseorang mengalami krisis paruh baya.

 Fase ketidakstabilan, yang dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup masyarakat dan di mana masyarakat terus mengalami perubahan, juga signifikan dalam hal faktor internal. Gaya hidup generasi milenial berbeda dengan generasi sebelumnya, dan hal ini dapat memengaruhi mereka yang tidak siap dengan perubahan ini. Selain itu, fokus pada diri sendiri menyiratkan bahwa, meskipun bantuan dari luar mungkin tersedia, individu masih memiliki keputusan terakhir dalam masalah ini.

 Selain itu, berada di antara keduanya mengarah pada keadaan di mana orang merasa berada di tengah-tengah antara masa dewasa dan masa remaja, tidak cukup dewasa untuk dianggap sepenuhnya dewasa namun juga tidak siap untuk menjadi remaja. Orang-orang memiliki harapan yang besar untuk masa depan selama usia yang penuh dengan kemungkinan, tetapi ada kekhawatiran tentang apakah aspirasi ini dapat menjadi kenyataan.

 Variabel eksternal, atau elemen di luar diri seseorang, juga memiliki pengaruh besar terhadap krisis paruh baya. Faktor-faktor eksternal seperti teman, hubungan romantis, dinamika keluarga, kehidupan profesional, dan tantangan akademis dapat memengaruhi individu selama tahap ini.

Apa yang Dirasakan Anak Muda Saat Menghadapi Quarter Life Crisis?

 Menurut Robinson, ada beberapa hal yang terjadi ketika anak muda melewati salah satu tahap kehidupan ini. Robinson (2015) menjabarkan empat fase krisis seperempat kehidupan anak muda. Pertama, terkunci, di mana meskipun banyak anak muda yang berjuang untuk memahami tanggung jawab dan peran mereka dalam hidup, tahap ini tidak secara langsung mengakibatkan krisis (Robinson, 2015). Dari segi identitas, orang-orang dalam tahap ini biasanya menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial sambil menekan emosi mereka, yang meningkatkan risiko stres dan membuat mereka merasa terlalu terkekang dalam peran mereka sebagai orang dewasa (Robinson, Wright & Smith, 2013).

 Krisis emosional memuncak pada saat perpisahan yang kedua. Pada titik ini, orang secara aktif membuat keputusan untuk melepaskan diri dari tanggung jawab mereka saat ini sambil mengalami emosi kehilangan, kesedihan, dan kecemasan tentang masa depan. Nilai-nilai dan keyakinan dalam masyarakat dan kehidupan dipertanyakan, dan identitas sementara hilang. Orang-orang mencoba menghadapi perubahan dan ketidaknyamanan emosional (Robinson, 2015).

 Ketiga, eksplorasi menunjukkan cara hidup baru yang sesuai dengan kedewasaan yang muncul. Pada titik ini, orang melanjutkan pemeriksaan diri dan bereksperimen dengan pilihan-pilihan baru, tetapi mereka masih tidak stabil secara emosional. Sering terjadi perubahan, dan kebutuhan diri sendiri lebih diutamakan daripada kebutuhan orang lain. Karena krisis perlu dieksplorasi lebih lanjut sebelum memasuki masa dewasa awal, beberapa orang mungkin akan kembali ke masa dewasa awal untuk sementara waktu.

 Tahap keempat, membangun kembali, adalah ketika orang dapat berkomitmen pada peran baru dan mulai merasa lebih termotivasi dari dalam. Perasaan diri mereka lebih terarah, mereka merasa lebih puas dan memegang kendali, dan nilai-nilai, preferensi, perasaan, dan tujuan mereka semua menunjukkan identitas yang lebih kohesif. Namun, karena setiap orang berbeda, tidak semua orang menemukan resolusi yang memuaskan selama fase pembangunan kembali (Robinson, Wright & Smith, 2013).

Lalu, Bagaimana Cara yang Tepat dalam Menghadapi Quarter Life Crisis?

 Ada beberapa metode dalam menghadapi fase quarter life crisis yang dapat dilakukan (Rahmania & Tasaufi, 2020). Pertama, cobalah untuk tidak membandingkan diri kita dengan orang lain dan fokus pada penemuan diri sendiri. Alih-alih terlena oleh kehidupan atau pencapaian orang lain, kita bisa mencari tau apa tujuan kita yang ingin dicapai kedepannya dan percayalah bahwa jawabannya mungkin tidak langsung muncul. Kedua, ubah keraguan menjadi tindakan dengan menjalani hari-hari dengan kegiatan yang berdampak baik untuk menemukan jawaban atas segala hal yang menjadi ketidakpastian, sambil mencari bantuan serta dukungan dari orang-orang yang dapat mendukung harapan dan cita-cita (Aisy et al., 2020).

 Selain itu, penting untuk mencintai diri sendiri dan membatasi penggunaan media sosial yang dapat menimbulkan perasaan kurang berharga. Selanjutnya, terapi juga dapat menjadi solusi, di mana O'Hanlon (Atwood & Scholtz, 2008) memaparkan jika terapi quarter life crisis berfokus pada pembahasan kemungkinan solusi. Dengan mengaplikasikan solution-focused therapy, individu dapat mengatasi pandangan buruk pada diri kita sendiri dan masalah yang dihadapi, dengan teknik seperti penggalian masalah, pertanyaan keajaiban, menemukan pengecualian, dan menggunakan scaling questions (Atwood & Scholtz, 2008). Solution-Focused Brief Therapy (SFBT) juga merupakan alternatif yang efektif untuk menangani quarter life crisis dalam waktu yang pendek.

Sebagai penutup, ingatlah bahwa quarter life crisis bukanlah suatu fase kehidupan yang akan berlangsung selamanya, juga bukan , melainkan awal dari perjalanan baru. Mungkin Anda merasa terjebak dan bingung sekarang, tetapi percayalah bahwa ini adalah bagian dari proses belajar dan tumbuh. Jangan biarkan rasa takut dan kecemasan menghalangi Anda untuk mencapai potensi penuh Anda. Jadikanlah quarter life crisis sebagai momentum untuk berhenti sejenak, mengevaluasi hidup Anda, dan merencanakan langkah selanjutnya dengan lebih baik. Ingat, Anda tidak sendirian dalam perjuangan ini. Mari kita hadapi quarter life crisis dengan keberanian, optimisme, dan harapan. Karena di balik setiap krisis, selalu ada peluang untuk menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Aisy, F., Maya, N., & Aini, S. (2020). Psikoedukasi Orientasi Masa Depan Untuk Mengatasi Quarter Life Crisis Melalui Video Pembelajaran Kreatif. Jurnal Psikologi Insight, 4(2), 80-85. https://doi.org/10.17509/insight.v4i2.29238

Artiningsih, R. A., & Savira, S. I. (2021). HUBUNGAN LONELINESS DAN QUARTER LIFE CRISIS PADA DEWASA AWAL. Jurnal Penelitian Psikologi, 8(5), 1-2.

Atwood, J., & Scholtz, C. (2008). The Quarter-life Time Period: An Age of Indulgence Crisis or Both? Journal of Contemporary Family Therapy, 30, 233- 250. https://doi.org/10.1007/s10591-008-9066-2

Nash, R. J., & Murray, M. C. (2010). Helping College Students Find Purpose: The Campus Guide to Meaning-Making. San Fransisco: Jossey Bass.

Rahmania, F. A., & Tasaufi, M. N. F. (2020). Terapi Kelompok Suportif untuk Menurunkan Quarter-Life Crisis pada Individu Dewasa Awal di Masa Journal of Contemporary Islamic Counselling Vol. 1, No. 1 (2021), pp. 53-64 64 Pandemi Covid-19. Psisula: Prosiding Berkala Psikologi, 2, 1-16. http://dx.doi.org/10.30659/psisula.v2i0.13061

Robbins, A., & Wilner, A. (2001). Quarter Life Crisis: The Unique Challenges of Life in Your Twenties. New York: Tarcher Penguin.

Robinson, O. C. (2015). Emerging adulthood, early adulthood and quarter-life crisis: Updating Erikson for the twenty-first century. New York: Routledge

Robinson, O. C., & Wright, G. R. T. (2013). The prevalence, types and perceived outcomes of crisis episodes in early adulthood and midlife: A structured retrospective-autobiographical study. International Journal of Behavioral Development, 37(5), 407--416. https://doi.org/10.1177/0165025413492464

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun