Mohon tunggu...
Hr. Hairil
Hr. Hairil Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu kebutuhan, bukan hiburan.

Institut Tinta Manuru

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Meriahnya 17 Agustus dan Kehidupan Masyarakat di Pulau Penawar Rindu, Belakang Padang

24 Agustus 2024   15:46 Diperbarui: 24 Agustus 2024   15:51 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perahu Layar Melewati Depan Pelabuhan dengan Latar Belakang Bengunan Tinggi Negara Tetangga Singapura. Dokpri

Mbak dian juga meneruskan ceritanya tentang nama pulau Belakang Padang dengan tutur melayunya, nama Belakang Padang ini konon karena pulau ini berada di belakang pulau sambu. Saya butuh memvalidasi informasi Mbak dian tentang nama dari Pulau ini. Orang menyebutnya pulau belakang padang, dalam Bahasa melayu, padang adalah menunjukkan sebuah tempat, lingkungan atau semacam Lokasi. Sedangkan kata belakang ini di pakai karena letak pulau belakang padang ini berada di belakang pulau Sambu. Setelah itu, Saya validasi lagi untuk beberapa artikel tentang ini, dan hasilnya sama seperti yang dijelaskan Mbak dian.

Dari cerita Mbak dian dan bapak pengendara becak kurang lebih punya Kesimpulan yang sama, bahwa sebelum beberapa suku mendiami pulau belakang padang, paling banyak adalah suku melayu dan orang dimasa kolonial Belanda. Sebab pulau Sambu dan Pulau Belakang padang seperti hunian orang dari pangkalan minyak masa penjajahan atau bahkan sebelum itu, orang -- orang yang berdagang dan singgah sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan mereka.

Saya hampir lupa cerita tentang 17 Agustus, hari itu cuaca tidak terlalu cerah. Pas kami tiba di Pelabuhan Sekupang, pagi hari masih sangat cerah sampai perjalanan menuju pulau belakang padang. Dari jauh sebelum berlabuh di Pelabuhan Belakang Padang, saya lihat banyak sekali bendera, dan atribut perayaan 17 agustus. Merah putih dan bendera Pelangi, ada juga panggung menghadap ke laut.

Ternyata, 17 Agustus di pulau padang sangat unik dan menarik banyak pengunjung. Bagaimana tidak, lomba perahu layar jarang sekali kita lihat di tempat lain, bukan berarti tidak ada, hanya saja di belakang padang sedikit berbeda. Perahu itu menurut cerita seorang yang saya ajak ngobrol di Lokasi, tepatnya di jembatan kayu dekat Pelabuhan, kata dia, perahu itu mengelilingi pulau.

Saya tidak tahu pasti, apakah benar yang di sampaikan si bapak itu, yang menjadi fokus saya di pagi itu adalah warna Layar, kita seperti terjebak di dimensi warna. Langit yang mulai gelap karena mendung, latar belakang perahu yang berlayar disisi kiri Pelabuhan dengan menampakan bangunan tinggi dari negara Singapura. Hal ini yang mungkin membuat banyak orang datang untuk melihat dan menyaksikan keramaian agustus di pulau belakang padang dengan pemandangan indah negara tetangga.

Apalagi, belakangan ini. Pemerintah Batam dengan gencarnya membangun dan melengkapi sarana prasarana terutama pelabuhan dengan tujuan menjadikannya sebagai tujuan wisata. adanya upaya dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat di Pulau Belakang Padang.

Kurang lebih 30 menit sebelum hujan mulai menyirami permukaan laut dan membuat semua orang harus mencari tempat teduh, perahu layer itu seperti menyibak samudera yang gelap karena kahujanan, saya sendiri juga sibuk mencari kopi kedua untuk sekedar hangatkan perut.

Memilih untuk mampir di salah satu stand yang jualannya indomie rebus dan juga kopi saset. Satu gelas kopi, menambah heningnya hujan. Tidak ada pengunjung yang bersuara, ditengah guyuran hujan, suara sound system pantia lomba semakin memecahkan konsentrasi dengan mengomentari warna perahu layar yang saling mengelabui satu sama lain di depan pelabuhan.

Ibu penjual kopi sibuk membuat kopi pelanggan lain, mengurus anaknya yang masih 2-3 tahun yang sudah berdansa dengan genangan air hujan. Atap stand dari terpal sudah mulai menampung banyak air, terlihat si ibu sangat sangat sibuk. Sound system semakin keras suaranya, hujan lebat, setengah dari celana hingga batas betis sudah mulai basah.

Tidak terlalu peduli dengan hujan dan kerasnya suara sound system, yang saya peduli hari itu hanya kopi dan salah satu stand di depan saya, di balik kerumunan orang mencari perlindungan dari hujan, si abang yang punya stand masih lincah mengoles kuas dan tinta airnya pada sebuah lukisan, dengan diameter papan berlatar putih kira -- kita 2 meter.

Saya tidak melihat objek nyata dari lukisan abang itu, hanya cat air yang di tuang acak lalu biarkan menetes, setelah itu dengan lincah tangannya menggunakan kuas mengaris secara dramatis semacam aliran abstrak dengan versi modernnya. Hal itu yang membuat saya sangat tertarik dan semakin memperhatikannya sedikit lebih lama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun