Indonesia -- Tanggal 06 Februari kemarin, angka kasus covid-19 Â tertinggi ada pada angka 12 ribu terjadi dalam sahari. Tentunya harapan kita semua adalah tidak lagi terjadi peningkayan yang signifikan pasca februari 2021 ini. Ternyata, harapan tidak sesuai dengan kenyataan.
Sebelum lanjut untuk bahasaan yang ringan-ringan ini, kita sepakati dulu hukum alam atau rekayasa paradigma sosial yang selama ini tanpa kita sadari, telah melakukannya.
Benarkah hukum alam di tengah masyarakat adalah demikian?, kita sepakati satu saja hukum alam ini untuk bisa menerima apa yang dibaca pada bahasan berikut. Harus sepakati bersama, kalau misalkan ada yang belum sepakat nanti kita coba membujuknya agar dia menyepakati hukum alam ini.
saya kasi satu hukum alam pertama yang harus kita sama-sama sepakati.
1. Jika satu anggota keluarga kita berbuat salah atau melakukan hal negatif. Yang salah dimata banyak orang selalu nama besar keluarganya. Ini antara hukum alam atau demam sosial yang membudaya. Justifikasi berujuang pada pemerataan atas tindakan satu orang. Apakah anda sepakat dengan ini? kalau misalkan ada yang belum sepakat. Kita coba lagi yang kedua.
2. Dulu waktu sekolah, Jurusan saya IPS, semua orang lihat jurusan IPS ini seperti keadaan pasar. Acak, kacau balau, tidak rapi suka melawan, bolos dll dll. IPA adalaj jurusan terbaik. Semua orang selalu begitu menilainya. Sepakat?. Kalau belum sepakat juga kita coba yang ketiga
3. Waktu sekolah dulu, IPS disekolah umum terkenal keras kepala dan nakal. Tapi yang paling bandel teman-teman saya di SMK Kejuruan (STM). Sebagian saja dari teman-teman melakukan tawuran, sekolah STM dicap sebagai sekolah yang suka tawuran. seluruh penjuru pengakui itu, padahal hanya sebagian. Spakat? kalau belum sepakat, ini sudah poin ketiga hukum alam tapi saya lebih suka kebalikan cara berpikir orangorang.
Untuk teman-teman yang tidak setuju, bisa tidak membaca isi dari bahasan berikut. Selanjutnya yang menyetujui, kita rapikan dulu kesepakatan dan persetujuan kita atas hukum alam ini " Kita ada dalam satu tim kerja, dan satu kesalahan yang kita buat berefek pada tidak potensial dan maksimal kerja-kerja kita, yang disalahkan bukan individu tetapi TIMnya" Ini sebenarnya inti dari bahasan berikut yang teman-teman baca. Sekarang kita lanjut ke Isi pembahasan.
Masih ingatkah kita terkait liburan lebaran dan bebrapa kebijakan pemerintah yang diluncurkan bertepatan dengan Liburan Hari Besar Lebaran Idul Fitri 2021 pada mei kemarin. Kebijakan itu sebenarnya merupakan langkah bijak pemerintah indonesia dengan tujuan menekan angka kasus covid-19 yang masih terjadi peningkatan di negara kita.
Sayang, Kita Terlalu Keras Kepala.Â
Sayangnya, seribu kali sayang. Sayang di sayang kebijakan itu tidak berdaya di mata masyarakat sipil yang arogansi dan sangat melawan. Alih-alih liburan terbaik harus bersama keluarga, apalagi momentum lebaran adalah momentum sangat penting.
Benar, momentum lebaran adalah sangat penting untuk kita yang berkeyakinan Islam, hanya itu terlihat berlebihan dan terlihat kita tidak bersabar, menjadi orang egois. Padahal hanya beberapa kali saja kebijakan ini bertujuan agar angka covid-19 di negara kita tidak bertambah dan semakin parah efeknya.
Tetapi nasi sudah jadi bubur, kebijakan itu tidak berdaya. Sebagian dari kita memilih untuk tetap mudik dan berlibur lebaran bersama kelaurga di kampung atau di rumah mereka. Dan hal besar pun terjadi, kita tidak bisa nafikkan kenyataan ini bahwa angka covid-19 ini melonjak pasca lebaran mudik
Hal ini bukan berarti kita menyalahkan antara sesama kita sebagai umat muslim, tetapi lebih kepada kita yang terlalu keras kepala dan melawan langkah bijak pemerintah untuk mengurangi terjadinya penambahan angka covid-19
Hal lainnya yang perlu kita sadari adalah saat ini, angka kasis covid-19 pada bulan Juni 2021 ini terbilang sangat tinggi, sangat signifikant peningkatannya. Dari kasus yang bertambah ini, barulah mengetuk hati kita bahwa ternyata melanggar dan melawan aturan atau pun sebuah kebijakan yang itu sifatnya adalah kebaikan itu ternyata hasilnya tidak baik.
Kini baru kita sadar, tetapi sudah terlambat. Angka yang tinggi itu tidak bisa turun tiba-tiba setelah kita tersadar seperti bangun dari tidur. Angka yang tinggi ini bisa berkurang lagi ketika kita butuh beberapa bulan penenganan, dikerakhan seluruh tenaga medis, petugas kesehatan disejumlah wilayah NKRI barulah angka itu bisa berkurang
Analisanya sangat sederhana bagi hemat penulis, pemerintah membuat aturan atau sebuah kebijakan yang sifatnya emergensi berarti pemerintah sudah membaca semua peta kemungkinan jika tidak begitu, maka akan terjadi penambahan angka kasus yang signifikan
Namun yang pemerintah dapat adalah masyarakat sipil yang membangkang dengan aturan, melawan dengan kebijakan yang pemerintah sodorkan demi kebaikan bersama, demi menekan angka covid-19 agar indonesia cepat selamat dari bencana mematikan ini
Kapal Sudah Berangkat, Anda Terlambat !
Kemarin aku baca lagi beberapa artikel terkait peningkatan angka kasus covid-19 di negara kita ini, hal ini miris. Banyak asumsi yang datang menikam dada pemerintah indonesia, sebagiannya lagi dalam bentuk hujatan dan anggapan minring bahwa pemerintah tidak mampu kendalikan hal ini
Pernyataan-pernyataan aneh kadang datang setelah mereka puas karena melawan, entahlah. Sekali lagi saya tekankan tidak kebijakan pemerintah (sebagai Pelayan Publik) akan mencelekai masyarakatnya.
Hal ini tentunya berbeda perspektif soal kebijakan dalam hal aturan misalkan kemarin RUU Ciptakerja dan atau sejenis atiran lainnya yang dianggap menyengsarakan sebagian kalangan.
Ini hal berbeda, sebagian kebijakan (aturan dan atau regulasi) terkait penangan covid-19 ini sifatnya emergensi, yang tentunya sudah melaui berbagai pertimbangan yang matang oleh para ahli dan pakar di lini pemerintahan kita.
Dalam sebuah artikel CNN Indonesia, informasi terbaru yang dirilis adalah perihal teken Petisi Online yang berisi Desakan, sekali lagi perlu saya tekankan adalah DESAKAN. Desakan ini ditujukan kepada presiden Joko Widodo agar segera melakukan Lockdown (karantina) wilayah. Baca juga ( https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210618144114-20-656241/tambahan-kasus-covid-19-nyaris-13-ribu-per-hari-kematian-290 )
Hal ini sebagian orang melihat sangat penting dan perlu dukungan untuk merealisasikan dengan ikut berpartisipasi dalam petisi. Padahal petisi semacam ini tidak bisa menggantikan nilai sebuah kebijakan pemerintah yang kemarin baru saja diabaikan Masyarakat sipil
Meskipun itu sebagian masyrakat sipil saja mengabaikan, tidak mengindahkan atau melanggar dan egois terhadap tujuan baik pemerintah. Lantas sekarang ini, apakah petisi semacam ini menjadi tanggungjawab yang harus diambil pemerintah?
Saya pikir, kita sebagai masyarakat sipil yang terlalu egois. Masih dalam ingatan kita terkait aturan larang mudik kemarin, bahkan masih sehangat hidangan makan malam, yang itu sebagian dari kita bahkan menolak dengan keras dan berdalih pemerintah mencampuri urusan negera dengan agam dan sebagainya
Maksud saya, sebanyak apapun masyarakat sipil menandatangani petisi yang dalam artikel CNN Indonesia di sebut petisi ini adalah orang-orang yang tergabung dalam Lapor Covid-19 yang katanya sudah kompak. Kekompakan yang mana yang dimaksudkan?
Saya jadi tidak bisa berpikir tentang pernyataan yang kadang-kadang orang tak sadar diri, bahwa nilai petisi ini meskipun jauh lebih besar tetapi tidak mampu mengembalikan Ruh Sebuah kebijakan kebaikan yang kemarin baru saja pemerintah kita keluarkan dan kita sendirilah yang mengabaikan
Logika sederhanya seperti ini, pemerintah menyediakan cangkul dan traktor untuk petani menggarap tanah untuk mempermudah pekerjaan petani dan tujuan tidak lagi menguras terlalu banyak tenaga. Dan petani-petani egois memilih membuat cangkul dan traktor dari perabot kayu dengan dalih mereka juga punya cara.
Hal anehnya lagi, setelah kebijakan tentang larang mudik diabaikan, tidak diindahkan, sekarang kita ramai-ramai meminta petisi. Logika kita kebalikan dan tidak sedang berpikir sebagiman mestinya. Dampak sebuah petisi ini apa sebenarnya?
Entahlah, hanya kita dan pemerintah yang jawab hal ini tanpa mengabaikan Ruh sejumlah kebijakan dan regulasi tentang penanganan covid-19 sebelu-sebelumnya
Tiba Momen Baru Ada Akal.
Kadang kultur dan kebiasaan kita membawa kita pada sebuah dampak yang terlihat begitu tidak nyata tetapi ada sebetulnya dalam kehidupan hari-hari kita. Misalkan perihal petisi diatas, saya pikir mestinya kita tayakan pada pemerintah adalah sejauh mana langkah kongkrit sebuah kebijakan yang sudah realisasi
Bagaimana kebijakan itu bekerja, bagaimana hasil penerapan sebuah kebijakan dalam hal ini demi kesehatan negara dan rakyatnya menghadapi pandemi covid-19. Petisi ini terlihat agak lebay, ini bukan hari pertama atau minggu pertama pandemi covid-19 di negera kita
Ini tidak seperti perkara kemanusiaan di afganistan dan beberapa negara yang membutuhkan uluran tangan kita dalam serentak semua orang tergerak hatinya untuk galang dukungan dalam bentuk petisi dll dll.
Maaf !
Mengingat Pembatasan Kata (Standar Kompasiana), artikel selanjutnya nanti baca di Masih Soal Petisi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI