Mohon tunggu...
Hr. Hairil
Hr. Hairil Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu kebutuhan, bukan hiburan.

Institut Tinta Manuru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Krisis Buku di Zaman Sekolah Kami Tahun 1990an (Seri I)

17 Mei 2021   14:31 Diperbarui: 17 Mei 2021   15:49 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekolah, lembaga pendidikan formal yang mewajibkan setiap orang untuk menempuhnya demi masa depan, begitulah istilah saya. Mungkin sebagian dari kita masih dapat mengingat dengan detile kenangan suka dan duka waktu sekolah di zaman mareka masing-masing. Ada juga sebagiannya hanya mengingat beberapa hal penting yang menurut mereka menjadi kesan dan kenangan yang harus dijadikan sebagai batu loncatan menuju masa depan sebagai manusia berkualitas budi dan pekertinya.

Kualitas budi dan pekerti, hanya di dapat oleh generasi yang sekolahnya di tahun 1990an, bukan berarti di zaman generasi Z tidak mendapatkan ajaran demikian. Sekarang masih diajarkan tapi tidak semasif yang diajarkan pada kisaran tahun ajaran 1990an saat itu.

Hari ini, kompasiana mengajak semua kompasianer untuk mengenang kembali kenangan kita masing-masing di saat sekolah, ingat buku-buku apa saja yang paling disukai, atau sederetan kenangan-kenangan indah sebagaimana perjalanan kita (masa sekolah adalah masing paling indah). Banyak orang sukka dengan pernyataan demikian karena menurut mereka yang sekolah dengan fasilitas sudah memadai, sekolah di kota dan sejumlah kebahagiaan lainnya menjadi catatan penting bagi mereka.

Saya sendiri melihat ajakan kompasiana ini semacam pemaksaan menguras memori yang sudah berlalu. Bagaimana tidak?, saya tidak dapat mengingat dengan detil begitu banyak suka cita perjalanan sekolah di tahun 90an saat itu. Harus dengan energi ektra, benar-benar mekasa memori dalam kepala, berusaha merefresh isi kepala untuk dapat pulang pada kenangan-kenangan tahun 1900an yang sudha  berlalu berpuluh-puluh tahun lamanya.

Kompasiana mengangkat teman "Buku kesayanganku saat anak-anak" bagi saya mengorek beberapa sisi yang harus saya tulis sebagai cerita tentang perjalanan saya dan sebagian dari kami yang sekolah di tahun 1990an dengan fasilitas yang minim di wilayah Timur Indonesia.

Kalian bisa percaya, bisa juga tidak percaya tentang banyak hal yang akan diceritakan oleh generasi 90an waktu mereka menempuh sekolah dengan fasilitas yang tidak memadai. Terutama saya pribadi lahir sebagai generasi 80an dan bisa bersekolah di kisaran tahun 1995 di bagian indonesia timur. Dari letak wilayah saja, pembaca sudah bisa menduga bahwa Indonesia timur saat ini, zaman dekarang ini pun pendidikannya masih terbengkalai apa lagi di zaman kami sekolah dulu tahun 1995 di bangku sekolah dasar.

Tidak ada fasilitas yang memdai seperti yang ada dalam pikiran teman-teman yang sekolah di kota-kota, makanya saya menjadi sedikit risih dan tema yang diangkat kompasiana diatas menggugah nurani untuk feedback kembali masa sekolah. Kami di indonesia timur semenjak indonesia merdeka 1945 hingga saat ini jalannya proses pendidikan masih begitu-begitu saja, jalan di tempat alias tidak ada perkembangan yang baik yang perlu kami banggakan.

Kompasiana memaksa saya untuk memutar kembali memori beberapa puluh tahun silam, di dalam isi kepala saya "Pendidikan dengan wajah yang sangat hitam" tidak menginspirasi anak-anak di Indonesia Timur karena tidak merata pelayanan dan fasilitasnya oelh pemerintah. Entahlah. Perbedaan akan terlihat ketika kita bercerita tentang masa sekolah kita di tempat masing-masing, suasana dan kenenagannya masing-masig. Kalau bisa di bilang, kenangan yang ada di waktu saya sekolah dulu adanya hanya "rasa pahit" tidak menikmati hakikat pendidikan yang sebenarnya.

Teman-teman yang lain menceritakan dengan indah kisah sekolah mereka, suka dengan buku, sekolah diantar orang tua, ada perpustakaan dll. Di timur indonesia tahun itu 1990an tidak ada fasilitas pendidikan yang bagus, jangankan buku yang paling kami sukai. Guru dan fasilitas bangunan sekolah saja masih dibangunan tua yang di bangun oleh orang-orang tua kami di kampung dengan modal gotong royong, bukan fasilitas pemerintah.

Disini, kita bisa tahu kalau pemerintah saat itu tahun 1990an menjangkau pendidikan di wilayah timur indonesia mungkin dua tahun sekali atau lima tahun sekali. Jadi, tidak ada yang bisa kami banggakan untuk sekolah kami di tahun 1990an di wilayah timur indonesia. Belum juga masalah lainnya, listrik dan fasiliatas transportasi membuat kami harus menempuh berkilo-kilo meter jauhnya bersekolah dengan jalan kaki.

Bagaimanapun, ini hanya terjadi sekali dalam kehidupan kami, itu menurut beberapa kenangan dan kisah kompasianer yang saya baca. Bagi kami, saya pribadi tidak ada kisah ini sekali yang di alami. Di indonesia timur masih mengalaminya, jadi ketidakmerataan pendidikan sampai saat ini adalah pengulangan kisah pahit yang kami lalui di tahun 1990an. Pendidikannya masih sama, fasilitas dan SDM guru, sejumlah fasilitas pendukung menjadi tidak tersalurkan dengan merata, bagaimana anak-anak disana mau menikmati fasilitas pendidikan seperti di kota-kota, ini realitanya.

Saya, ditanya tantang buku kesukaan, sekolah kami saat itu hanya ada buku ajar. Ada perpus sekolah pun buku-bukunya ya buku ajar yang tidak terjual. Karena buku ajar ditahun kami sekolah masih dibeli. Semuanya tidak gratis dong. Jadi ajakan kompasian mengisahkan hal ini sangat emosial bagi saya. Buku ajar yang ingin kami miliki saja harus dibayar, bagaimana kami bisa menyukai buku lain?

Perpus disekolah kami tahun 90an hanya deretan sejumlah buku ajar yang tidak laku dijual oleh entah guru atau pemerintah, karena tidak gratis intinya. Yang masih melekat dalam pikiran saya, buku ajar yang bisa saya miliki saat itu karena keterbatasan ekonomi, hanya dua edisi buku IPA dan temannya IPS. Saya lupa warnanya dan juga ketebalannya, itu pun didapat harus membayarnya dulu, sistemnnya ambil pakai nanti bayar belakangan. Jadi orang tua saya harus berjiwa raga membayar buku dan biaya pendidikan.

Buku lain yang paling saya ingat adalah PPKN sampul bukunya merah putih saya tidak ingat tahun berapa dan buku geografi. Bagi saya, IPA IPS saat masih SD tidak terlalu memberikan pengaruh yang besar sebagaimana selain IPA umum Geografi dan belajar tentang alam. IPS yang paling bisa diingat adalah pelajaran sejarahnya. Tapi setelah lulus sekolah ternyata sejarahnya juga ada yang direkayasa. PPKN tentang bagaimana menjadi manusia indonesia yang beragam, UU1945 dan bhineka tungga ika. Dua pelajaran SD ini yang paling saya favoritkan. Membaca hal tentang alam dan membaca beragam budaya.

Mengunjungi perpus sangatlah tidak mungkin, perpus hanya buka di jam istirahat mata pelajaran. Artinya kita hanya butuh kurang lebih 30 menit. Waktu 30 menit sekolah kami saat itu digunakan dengan pulang ke rumah, makan mandi dan balik lagi padahal sama saja, harus lari-larian dan keringat juga. Mengapa hal ini kami lakukan, karena rata-rata kami tidak mendapat uang jajan apalagi membawa bekal di sekolah. Yang ada di kenangan sekolah kami bukan buku mana yang kami suka, tapi hanya suka cita yang mengajarkan kami agar terbiasa ketika mengkhendaki cita-cita dengan keterbatasan fasilitas pendidikan

Dulu, kemauan belajar kami sangat besar, tapi fasiliatas seperti buku, dan yang lain terbatas. Kami tidak mengenal telephon apalagi yang genggam sekarang ini anak Usia dini pun sudah bisa memegangngnya. Tidak hadir sekolah karena sakit, harus menulis surat, yang tulis surat mestinya orang tua. tetapi lebih banyak yang saya tulis sendiri adalah alasan untuk bisa bolos

Saya sangat suka dengan pelajaran IPA dan IPS, setelah SMP dan SMA kedua pelajaran ini terpisah spesifikasi. Saya lebih menyukai geografi, sebenarnya bukan menyukai tetapi generasi indonesia timu sangat menggemari denga pelajaran ini. Jadi tidak heran sekarang ini generasi 1990an kalau di tanya indonesia bisa tahu 90% wilayahnya. Hal itu terbukti karena anak-anak bagian timur tahu semua kepualauan yang ada di indonesia. Beda dengan anak-anak sekolah di bagian barat indonesia, saya pikir mereka tidak belajar geografi, sehingga saat di perjalanan dan kenalan yang mereka tanya dan mereka tau bahwa indonesia timur itu ambon dan papua. ini menggambarkan bahwa individulalis generasi bagian barat sangat dominan dalam proses sekolah mereka.

[.......] Next Seri II

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun