Mohon tunggu...
Hr. Hairil
Hr. Hairil Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu kebutuhan, bukan hiburan.

Institut Tinta Manuru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Proses Diskriminasi terhadap Guru Laki-laki

14 November 2017   02:16 Diperbarui: 14 November 2017   09:51 2864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Data Kemendikbud 2016-2017

"Sebuah catatan refleksi terhadap justifikasi dan diskriminasi dalam dinamika pendidikan dan tenaga guru. Sebagian besar terjadi di lapangan adalah guru laki-laki sebagai korban pengkultusan pemikiran klasik terhadap partisipasi sebagai pengajar. Dominasi guru perempuan adalah masalah baru wajah pendidikan yang mestinya harus menjadi perhatian serius"

Dewasa ini, ada kekeliruan berpikir tentang pandangan terhadap guru laki-laki di banyak sekolah. Dari sekolah TK, SLB sampai pada Sekolah SMA dan SMK.

Besar kamungkin, asumsi negatif ini lahir bukan tanpa alasan. Ada hukum sebab akibat dalam setiap sesuatu yang terjadi baik kemarin, kini atau yang akan datang

Asumsia tentang tenaga guru laki-laki menjadi problem utama dimana orang-orang mewacanakan tentang naluri mendidik. 

Mayoritas wanita, bukan saja terlihat memadati daftar guru, juga pengajar di detiap organisasi pendidikan. Berbeda halnya kaum laki-laki yang dalam sejarah dunia pendidikan terlihat menjadi minority dalam berpartisipasi mengambil bagian sebagai tenaga pengajar. 

Bicara tentang tenaga pengajar setiap sekolah, organisasi berbasis pendidikan tentunya membutuhkan Sumber Daya Manusia berkualitas dan kreatif. 

Mutu dan atau kualitas serta kreatif tenaga pengajar dilihat dari jenjang pendidikan sebagai tenaga guru yang mereka tempuh. 

Ada guru yang seperti dibeberapa daerah Terpencil Indonesia, hampir sebagian besar wilayah timur. Guru-guru bisa disandingkan dengan para veteran jaman pendudukan belanda dan jepang.

Hal demikian, disebabkan guru-guru tahun 80an dengan metode belajar yang minim dan juga tingkat pendidikan yang rendah memyebabkan produk siswa yang tidak berkompeten.

Dibeberapa sekolah, masih terdapat guru-guru tahun 80an. Sebagian guru yang masih terlihat aktif dalam proses belajar ini hanya sebagai tenaga honorer yang diangkat oleh dinas pendidikan disetiap daerah atau sebagai inisiatif mendongkrak pertumbuhan pendidikan. 

Guru-guru tahun 80an hampir sebagian besar dari lulusan SMEA. Saya tidak terlalu paham perkara relevansi antara lulusan SMEA dan menjadi tenaga guru di banyak daerah. 

Kemungkin relevansi ini dipandang dari paradigma lama pendidikan tentang hampir sebagian besar lulusan SMEA bisa menjadi tenaga pengajar dalam hal ini guru. 

Berbeda dengan Guru-guru yang melewati tahapan formal pendidikan guru, hingga menjadi tenaga pengajar. Mereka sebagai repsentatif tujuan pendidikan sebagai dasar keilmuan.

Dalam praktiknya di lapangan, perbedaan guru lulusan SMEA atau sederajat sebagai tenaga honorer dan tenaga guru formal dapat dilihat dari cara dan gaya memberikan pendidikan kepada siswa. 

Pandangan klasik perbedaan guru masih menjadi perdebatan panjang. Belum tahu, sampai sekarang. Apakah masih ada guru honorer lulusan SMEA atau SMA dan sederajat di pendidikan TK, SD maupun SMA dan sederajat? 

Kalaupun masih ada, berarti desain pendidikan dan kurikulum berbasih kompetensi dan sekarang direncanakan akan menuju pendidikan berbasis teknologi ini secara tidak langsung menyeret kedudukan guru tahun 80an disetiap sekolah. 

Pendidikan formal guru. D II, D III dan S1 maupu S2 masih dapat di data. Oleh sebab perkembangan tenaga guru terlihat signifikan setelah tahun 2000an. 

Anak-anak remaja lulusan bidang keguruan tumpah ruah dilini pendidikan. Ada yang hanya sebagai honor, bantu seadanya dan ada sebagai pegawai negeri sesuai dengan ketetapan UU tentang guru dan pengajar. 

Saya mengajak kita kembali keawal bahasaan perkara mengapa harus guru perempuan yang mendominasi lembaga pendidikan sebagai tenaga pengajar?

Lihat data tesebut dibawah dan bandingkan dengan kenyataan lapangan yang anda temukan. Tentukan persepsi kita adalah sebagai penengah yang berusaha mencari formulasi terbaru.

Data Kemendikbud 2016-2017
Data Kemendikbud 2016-2017
Pada data tersebut diatas 96,79% tenaga KS-guru di TK adalah perempuan, angka paling tinggi dari tahun 2016/2017. Disusul SLB 70,39% adalah guru perempuan, dan terakhir paling bawah guru perempuan di sekolah SMK 50,36%.

Persentase dominasi guru wanita tersebut bukan sebenarnya merupakan sebuah perkembangan atau kemajuan, tetapi persentase tersebut seperti terdapat pada data diatas adalah masalah baru di dunia pendidikan. 

Pertisipasi guru perempuan mendominasi semua jenjang sekolah melahirkan efek lain terhadap minat atau bahkan sebaliknya justifikasi dan diskriminasi guru laki-laki. 

Bicara soal kualitas, semua pendidikan formal guru yang didapat baik itu laki-laki dan perempuan tidak dapat dibedakan. Seluruh proses menjadi seorang guru dijalur formal dengan tahapan dan pembelajaran yang sama. 

Selain sebagai guru yang kompeten, guru yang produktif dan dapat menjadi guru yang sebenarnya tidak hanya pada kaum perempuan saja. Paradigma lama terhadap tenaga guru perempuan yang notabenenya adalah kaum ibu, maka mereka layak menjadi tenaga guru karena memiliki naluri keibuan. 

Tentang naluri keibuan seorang Guru perempuan mungkin tidak lebis sebagai sebuah pengkultusan terhadap representasi kaum laki-laki untuk ambil bagian menjadi guru disemua lembaga pendidikan dari tahap bawah sampai tahap atas. 

Pendidikan Bermutu tidak terlepas dari sumber daya manusia. Selain itu akses dan efisiensi dalam pelaksanaan keseharian sebagai guru merupakan hal penting. 

Guru lelaki maupun perempuan mendapat pelatihan yang sama mendorong kualitas diri dan mengasah potensi sebagai guru. Begitu pun, hal lain yang sangat berkaitan dengan pendidikan itu sendiri. 

Jadi, perkara dominasi kaum perempuan dalam hal menjadi guru adalah tidak lebih sebagai sebuah kekacauan wawasan yang didesain atau sudah tertanam semenjak dahulu sehingga jika disandingkan dengan pendidikan formal yang modern maka yang ada hanya dominasi dan ego. 

Guru dalam banyak hal, seperti telah dijelaskan diatas. Dominasi perempuan menjadi tenaga guru adalah sebab utama lelaki menjadi tidak berani mengambil bagian sebagai tenaga guru laki-laki. 

Apalagi sekolah yang mereka ambil adalah TK atau SD, lahir paradigma lama sebagai sebuah asumsi tanpa acuam bahwa kaum laki-laki tidak berhak mendidik disebabkan tidak memiliki naluri ke-Ibu-an. 

Hal semacam ini memberikan fakta, bahwa kompetensi guru dan kualitas guru tidak diukur berdasarkan gender dan jenis kelamin. Selama tujuan pendidikan masih terpatri dalam jiwa anak-anak muda maka selama itu pula tujuan pendidikan akan dicapai dengan mudah tanpa mengkultuskan posisi guru laki-laki. 

Pertanyaannya, mengapa perempuan lebih dominasi lembaga pendidikan sedangkan laki-laki hanya terlihat sebagai pelengkap guru disetiap sekolah? 

Atau, mengapa guru laki-laki menjadi minoritas dalam dunia pendidikan dalam hal ini sebagai pengajar?, dan pantaskah guru laki-laki ada lingkungan TK? 

Pertanyaan diatas dapat kita lihat bagaimana posisi tenaga guru laki-laki baik itu di TK sampai pada tingkat pendidikan menengah. Dominasi tenaga guru ini bukan hal biasa. Sebab sejauh ini orang tidak berpikir tentang kejanggalan persepsi tersebut. 

Kalau dalam amanat pendidikan, guru wanita di utamakan ketimbang guru laki-laki maka yang kita lakukan adalah perombakan amanat UU tentang sistem pendidikan. Tetapi sejauh ini amanat pendidikan sifatnya kolektif berlaku untuk semua lapisan generasi yang berprofesi sebagai tenaga guru. 

Sehingga tujuan pendidikan layak dan patut dijalankan oleh semua guru tanpa pembedaan gender atau pun jenis kelamin seperti paradigma asumsi klasik yang masih tertanam di benak kita. 

Kita lihat kembali data diatas, 100% dari KS-Guru TK pada 2016/2017, jumlah guru laki 3,30%. Sekolah SD 29,61% dari 100% jimlah guru dan SMK 49,64% adalah guru laki-laki. 

Artinya data tersebut adalah persentase selain sebagai keterlibatan guru laki-laki dalam semua lini pendidikan formal. Juga merubapakan bahasa isyarat bahwa masalah minimnya partisipasi guru laki-laki ada faktor penyebabnya. 

Hemat saya, minimnya guru laki-laki selain minat sebagai guru, di dunia pendidikan terdapat proses diskriminasi yang selama ini kita pun turuk mengembangkan, membudidayakan menjadi suatu frame budaya bahwa hanya wanita saja yang berhak, atau lebih memiliki hak mengurusi anak usia dini. 

Kalaupun alasannya bahwa kasih sayang terhadap anak usia dini dari seorang guru lelaki dan perempuan itu berbeda. Maka, kita tidak lebih adalah manusia pandai yang paling sempit cara berpikirnya. 

Kasih sayang, naluri ke-Ibu-an belum tentu menjamin perkembangan anak dalam memahami sesuatu, begitupun sebaliknya. Naluri ke-bapa-an juga belum tentu menjamin kecerdasan anak usia dini. 

Dititik inilah kita sama-sama kembali pada trilogi pendidikan yakni Asah, asih dan asuh. Ketiga ini merupakan bentuk tindak dan pola laku manusia yang di cerminkan dalam keseharian, maka guru perempuan sama seperti guru laki-laki dengan pembedaan pada kualitas dan kompetensi yang dia miliki.

Artinya, persepsi bahwa mendidik anak usia dini tepatnya harus diurusi oleh guru perempuan adalah persepsi yang keliru. Sebab ukuran ilmu adalah sejauhmana guru akan membawa diri dan mengaplikasikan pengetahuan sebagai tenaga pengajar dan pelaksana trilogi pendidikan tersebut diatas. 

Kompetensi dalam hal ini skill serta kualitas guru bukan lahir secara instan. Kita tidak hidup pada jaman batu, dimana guru mendapat mantra suoranatural dari alam sehingga segala yang di ajarkan berjalan masif dan alami. 

Ini jaman millenial, guru dan kualitas guru didapat dari proses tahap demi tahap. Sehingga pada realisasi atau pelaksanaannya, tidak ada yang menyebut pembedaan terjadi disana. 

Kenyataan di lapangan, saya melewati tahap pendidikan yang sama seperti sekarang ini generasi kita sedang menjalaninya. Kebanyakan guru waktu saya dan mungkin 100% dari pembaca melihat kenyataan itu tanpa disadari. 

Masalah emosional dalam belajar, guru tahun 90an waktu itu mengutamakan emosi pada proses belajar mengajar. Sedikit kesalahan, emosi meluap dan siswa adalah sasaran tembak. 

Pertanyaannya, apa iya guru-guru untuk mengajar tingkat TK dan SD harus guru perempuan saja?  

Kenyataan dilapangan dan kita semua menjawab sesuai persepsi dan pengalaman kita masing-masing. Melihat fenomena partisipasi guru laki-alki disekolah ini. 

Kita menemukan masalah baru yang sangat vital mengganggu prospek pendidikan menuju tahap perkembangan yang lebih baik. Sebab menjadi guru bukan lagi soal gender atau jenis kelamin saja. 

Toh kalau perspektif seperti ini yang dipakai maka yakinlah bahwa kekeliruan dan kekacauan wawasan ternyata sudah sampai pada tahap parahnya. Menjadi seorang guru di ukur dari kualitas keilmuan dari guru itu sendiri, itulah jawaban sebenarnya. 

Guru yang tidak berkompeten juga masih terdapat di banyak sekolah di berbagai daerah. Kualitas keilmuan guru menentukan kadar kualitas siswa. Jadi jawaban untuk kegagalan dan atau problem remaja di lingkungan kita adalah ulah dari guru tidak berkualitas selain masalah pengaruh lingkungan tempat tinggal. 

Dunia pendidikan dari Indonesia merdeka hingga kini semacam ada sebuah dinding pemisah yang tebal, memisahkan eksistensi guru perempuan dengan guru laki-laki dalam proses belajar mengajar. 

Dan kalaupun, jawaban mengapa guru laki-laki sangat minim di pendidikan TK dan SD adalah perkara minat. Maka,  sistem pendidikan yang ditawarkan adlaah menggenjot minat guru laki-laki agar mengambil peran sedini mungkin terhadap semua jenjang pendidikan dari TK sampai SMA dan sederajat. 

Wadah pengajaran di dunia pendidikan diberikan kebebasan kepada kedua pihak guru. Peluang ini seharunya diberikan, bukan lagi ditunggu para guru akan datang menghampirinya.

Mungkin perbedaan tahapan SD sampai SMA dan sederajad adalah berbeda dengan TK sebab guru TK harus berlaku seperti orang tua kedua dari anak-anak usia dini yang bertatus siswa. 

Setidaknya kehadiran anak usia dini disekolah harusnya bertemu kedua guru, perempuan maupun guru laki-laki. Sehingga mereka sebagai siswa tidak merasa ada kehilangan atau semacam putus komunikasi dari sosok yang mereka rindu seperti sang ayah. 

Disitulah peran guru laki-laki hadir menggantikan posisi ayah dari anak-anak tersebut. Semua berlaku adil, tanpa justivikasi ba bi atau bu dari pihak manapun tentang sikologi pendidikan yang peka terhadap lingkungan anak usia dini. 

Prinsipnya tata kelola dan manajemen pendidikan dilakukan sebagai metode terbarukan agar dapat menciptakan iklim pendidikak TK seperti iklim dilingkungan rumah sendiri dari anak usia dini. 

Maksudnya, perkara minat menkadi hal terpenting untuk lebih jauh memahami kondisi guru dan anak usia dini, selain itu deskriminasi terjadi disebabkan kita terlalu kaku memaknai didikan anak usia dini yang identik dengan anak yang peka terhadap Ibu. 

Padahal, rasionalnya. Kasih sayang yang diinginkan anak-anak umur 1 sampai 5 tahun tidak hanya dari ibu semata melainkan juga dari sang ayah. 

Sampai disini, ketidakhadiran atau kurangnya peran guru laki-laki di TK adalah salah diri sendiri atau doktrin pemikiran klasik tentang kasih sayang yang selama ini kita jadikan sebagai bumerang menyudutkan guru laki-laki?

Lalu membendung dan memotong hak anak-anak untuk dapat bersentuh dengan kasih sayang dari guru laki-laki sebagai pengganti ayahnya?

Sejauh sistem pendidikan tidak diperbaiki, sejauh perspektif pemikiran klasik seperti justifikasi dan diskriminasi terhadap guru laki-laki tidak disudahi maka sejauh itu pula kegagalan kita membawa anak-anak menjadi generasi yang baik, bermartabat dan berani menjadi pembaharu dijaman mendatang.

Dunia anak-anak benar tidak bisa terpisah dari ibunya, tetapi memyepelekan kasih sayang guru laki-laki adalah hal paling bobrok yang masih kita temukan sepanjang pemikiran seperti itu masih digunakan. 

Selama ini, wajah pendidikan indonesia dikenal sebagai mayoritas pengajarnya adalah perempuan bahkan mewajibkan perempuan sebagai guru tidak lebih adalah suatu programnya. 

Sudahi justifikasi dan diskriminasi terhadap guru laki-laki, berikan kebabsan yang sama tanpa mengkultuskan mereka dan ubah wajah pendidikan TK dan SD seperti keadaan sesunggunya anak-anak hidup dirumah sendiri di dampingi oleh kedua orang tua, disitulah tujuan dan cita-cita pendidikan kita akan tercapai. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun