Pertanyaan diatas dapat kita lihat bagaimana posisi tenaga guru laki-laki baik itu di TK sampai pada tingkat pendidikan menengah. Dominasi tenaga guru ini bukan hal biasa. Sebab sejauh ini orang tidak berpikir tentang kejanggalan persepsi tersebut.Â
Kalau dalam amanat pendidikan, guru wanita di utamakan ketimbang guru laki-laki maka yang kita lakukan adalah perombakan amanat UU tentang sistem pendidikan. Tetapi sejauh ini amanat pendidikan sifatnya kolektif berlaku untuk semua lapisan generasi yang berprofesi sebagai tenaga guru.Â
Sehingga tujuan pendidikan layak dan patut dijalankan oleh semua guru tanpa pembedaan gender atau pun jenis kelamin seperti paradigma asumsi klasik yang masih tertanam di benak kita.Â
Kita lihat kembali data diatas, 100% dari KS-Guru TK pada 2016/2017, jumlah guru laki 3,30%. Sekolah SD 29,61% dari 100% jimlah guru dan SMK 49,64% adalah guru laki-laki.Â
Artinya data tersebut adalah persentase selain sebagai keterlibatan guru laki-laki dalam semua lini pendidikan formal. Juga merubapakan bahasa isyarat bahwa masalah minimnya partisipasi guru laki-laki ada faktor penyebabnya.Â
Hemat saya, minimnya guru laki-laki selain minat sebagai guru, di dunia pendidikan terdapat proses diskriminasi yang selama ini kita pun turuk mengembangkan, membudidayakan menjadi suatu frame budaya bahwa hanya wanita saja yang berhak, atau lebih memiliki hak mengurusi anak usia dini.Â
Kalaupun alasannya bahwa kasih sayang terhadap anak usia dini dari seorang guru lelaki dan perempuan itu berbeda. Maka, kita tidak lebih adalah manusia pandai yang paling sempit cara berpikirnya.Â
Kasih sayang, naluri ke-Ibu-an belum tentu menjamin perkembangan anak dalam memahami sesuatu, begitupun sebaliknya. Naluri ke-bapa-an juga belum tentu menjamin kecerdasan anak usia dini.Â
Dititik inilah kita sama-sama kembali pada trilogi pendidikan yakni Asah, asih dan asuh. Ketiga ini merupakan bentuk tindak dan pola laku manusia yang di cerminkan dalam keseharian, maka guru perempuan sama seperti guru laki-laki dengan pembedaan pada kualitas dan kompetensi yang dia miliki.
Artinya, persepsi bahwa mendidik anak usia dini tepatnya harus diurusi oleh guru perempuan adalah persepsi yang keliru. Sebab ukuran ilmu adalah sejauhmana guru akan membawa diri dan mengaplikasikan pengetahuan sebagai tenaga pengajar dan pelaksana trilogi pendidikan tersebut diatas.Â
Kompetensi dalam hal ini skill serta kualitas guru bukan lahir secara instan. Kita tidak hidup pada jaman batu, dimana guru mendapat mantra suoranatural dari alam sehingga segala yang di ajarkan berjalan masif dan alami.Â