Kemungkin relevansi ini dipandang dari paradigma lama pendidikan tentang hampir sebagian besar lulusan SMEA bisa menjadi tenaga pengajar dalam hal ini guru.Â
Berbeda dengan Guru-guru yang melewati tahapan formal pendidikan guru, hingga menjadi tenaga pengajar. Mereka sebagai repsentatif tujuan pendidikan sebagai dasar keilmuan.
Dalam praktiknya di lapangan, perbedaan guru lulusan SMEA atau sederajat sebagai tenaga honorer dan tenaga guru formal dapat dilihat dari cara dan gaya memberikan pendidikan kepada siswa.Â
Pandangan klasik perbedaan guru masih menjadi perdebatan panjang. Belum tahu, sampai sekarang. Apakah masih ada guru honorer lulusan SMEA atau SMA dan sederajat di pendidikan TK, SD maupun SMA dan sederajat?Â
Kalaupun masih ada, berarti desain pendidikan dan kurikulum berbasih kompetensi dan sekarang direncanakan akan menuju pendidikan berbasis teknologi ini secara tidak langsung menyeret kedudukan guru tahun 80an disetiap sekolah.Â
Pendidikan formal guru. D II, D III dan S1 maupu S2 masih dapat di data. Oleh sebab perkembangan tenaga guru terlihat signifikan setelah tahun 2000an.Â
Anak-anak remaja lulusan bidang keguruan tumpah ruah dilini pendidikan. Ada yang hanya sebagai honor, bantu seadanya dan ada sebagai pegawai negeri sesuai dengan ketetapan UU tentang guru dan pengajar.Â
Saya mengajak kita kembali keawal bahasaan perkara mengapa harus guru perempuan yang mendominasi lembaga pendidikan sebagai tenaga pengajar?
Lihat data tesebut dibawah dan bandingkan dengan kenyataan lapangan yang anda temukan. Tentukan persepsi kita adalah sebagai penengah yang berusaha mencari formulasi terbaru.
Persentase dominasi guru wanita tersebut bukan sebenarnya merupakan sebuah perkembangan atau kemajuan, tetapi persentase tersebut seperti terdapat pada data diatas adalah masalah baru di dunia pendidikan.Â
Pertisipasi guru perempuan mendominasi semua jenjang sekolah melahirkan efek lain terhadap minat atau bahkan sebaliknya justifikasi dan diskriminasi guru laki-laki.Â