Dilaut, dingin, basah, gelombang, angin samudera, tanpa kompas sebagai penunjuk arah. Orang-orang tua kami terbiasa dengan cara tradisional. Menerka atau meramal kondisi laut menggunakan bintang dan arah angin.Â
Bukan sebagi ilmu pengetahuan terbaru, ini cara paling tradisional yang di pakai seluruh Pelaut di kampung aku. Sebab cara ini secara alami, turun temurun dari generasi satu kegenerasi berikut.Â
Matahari menuju bibir samudera, garis laut dan matahari tinggal sejengkal. Angin masih seperti biasa, beberapa pelaut dengan layar mungil dari arah yang masih jauh, kembali dengan membawa harapan yang terbeli.Â
"Kek, hari sudah mulai gelap. Kita harus kembali kerumah" Kataku, lalu berdiri dan memaksa si kakek harus beranjak dari tempat duduknya.Â
Aku masih tertegun, terbawa suasana, dikamar sebelah masih terdengar suara kipas angin menggetarkan atap-atap kamar dari bahan tripleks. Dibelakang aku, radio merek Digitek masik teriak perkarakan kemacetan kota pahlawan sebab guyuran hujan.
Di tanganku, secarik kisah dari si tua sahabat laut, aku lupa dengan kopi yang sudah diseduh. Iya, November ini adalah kelam bagi pelaut. Di kota pahlawan, hujan pada November tahun ini adalah kenangan.Â
Kenangan si tua teman laut, kenangan anak-anak nelayan, kenangan keluarga pelaut, kenangan bibir Pantai eksotis dan maha luasnya samudera. Semuanya akan kembali kepada yang Hak.Â
Jakarta, 09/11/17
Anak Pelaut.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H