Mohon tunggu...
Herry Sadewo
Herry Sadewo Mohon Tunggu... -

Melalui tulisan, kutuangkan rasa dan fikiran.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Purnama Di Dibba, Oman

12 Februari 2012   17:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:44 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berjalan bertelanjang kaki di pasir pantai dengan iringan deburan ombak dalam naungan cahaya bulan bulat penuh merupakan sensasi tersendiri, khususnya bagiku. Mengingatkanku pada kejadian yang hampir sama sembilan belas tahun yang lalu di Pangandaran, Jawa Barat. Kejadian yang hampir sama namun dalam kondisi yang berbeda. Karena malam itu aku bermandikan rembulan di tempat yang sangat jauh dari Pangandaran; di Dibba, Oman. Namun sayang, untuk kali ini pun mobilku tak bisa mendekati lokasi kemah yang semuanya pasir.

Bermalam di Sharjah

Kamis, 9 Pebruari 2012, pkl. 17:42 adalah waktu keberangkatan kami untuk camping kali ini. Setelah beberapa kali mengadakan pertemuan yang pada saat-saat terakhir pesertanya pun semakin menyusut karena berbagai halangan, akhirnya kami pun jadi berangkat. Informasi tentang perkiraan cuaca dan kondisi tempat tujuan kami pun tak luput jadi perhatian sebelum keberangkatan ini. Perlengkapan camping, bahan makanan, cadangan air, kamera dan segala hal yang diperkirakan akan digunakan di sana sudah masuk semuanya ke mobil. Satu persatu daftar perlengkapan yang sudah kutulis di secarik kertas aku periksa. “Siip, semuanya sudah terbawa”, gumamku.

Seperti keberangkatan sebelumnya, keberangkatan kali ini pun dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berangkat hari kamis, 9 Pebruari 2012 yang terdiri dari empat keluarga, sementara kelompok kedua yang terdiri dari tiga keluarga lainnya berangkat keesokkan harinya, Jum'at 10 Pebruari 2012. Kelompok pertama berencana akan menginap semalam di kota Sharjah, United Arab Emirates yang berjarak kurang lebih 55 km dari lokasi camping, sementara kelompok kedua akan meluncur langsung ke lokasi camping.

Kehidupan malam di Sharjah berbeda dengan dua kota saudaranya, Abu Dhabi dan Dubai. Praktis di Sharjah tidak ada suasana kehidupan malam seperti halnya di kedua kota tersebut. Namun, biaya hidup di kota ini jauh lebih murah dibandingkan Abu Dhabi dan Dubai. Hal inilah yang menyebabkan hampir sebagian besar para pekerja di Dubai yang di dominasi oleh para ekspatriat atau tenaga kerja asing memilih untuk tinggal di Sharjah. Dan ini jugalah yang menyebabkan kemacetan lalu lintas di jam-jam tertentu, khususnya saat pagi dan malam menjadi cerita tersendiri yang sampai saat ini belum terselesaikan. Beruntung bagi kami malam itu, berbekal informasi yang kami dapat dari beberapa rekan pribumi yang tinggal di Sharjah akhirnya kami memilih jalan alternatif, namun ini pun tidak seratus persen bebas hambatan. Tapi paling tidak, ini lebih baik daripada jalur utama yang macet.

Kami bermalam di sebuah hotel yang tidak jauh dari bandara Sharjah International Airport. Selain murah, hotel inipun bagus dan tidak terlalu jauh jaraknya dari lokasi camping yang kami tuju. Namun karena sangat dekat dengan bandara, suara deru mesin pesawat yang akan lepas landas atau mendarat terasa menjadi konsekuensi yang harus kami terima. Namun semua itu tidak terasa manakala kami sudah memasuki hotel. Tepat pukul 22:29 kami check-in di hotel tersebut setelah menghabiskan beberapa menit berputar-putar karena salah arah akibat GPS yang kami pakai masing-masing menunjukkan arah yang berbeda. Beruntung bagiku, anakku yang bungsu tertidur pulas saat itu, sehingga ia tidak merasa bosan dalam perjalanan malam.

Menembus Batas Negara

Jum'at, 10:50 kami berangkat menuju Dibba, Oman tempat tujuan camping; menyusuri Al Dhaid Road. Seperti halnya Emirates yang lain, pemandangan yang terhampar di depan mata tak jauh dari hamparan padang pasir. Namun yang membuat agak berbeda adalah, hampir seluruh bagian padang pasir tersebut ditumbuhi tanaman-tanaman kecil yang tingginya tak lebih dari 30 sentimeter dan beberapa pohon Gharf berdebu; terhampar tak beraturan. Ini juga yang membuat hamparan pasir tersebut terkesan agak kotor dan kurang terawat. Tampak bangunan-bangunan setengah jadi, restoran pakistan yang tersebar di kanan dan kiri, beberapa toko elektronik menjadi pemanis pemandangan di sepanjang Al Dhaid Road.

Memasuki kota Al Dhaid, kami disuguhi pemandangan yang mengingatkan kami seakan-akan sedang berada di negeri sendiri. Bangunan berjejer di tepi jalan bahkan bisa dibilang mepet dengan bahu jalan, pagar tembok tinggi yang memanjang dengan beberapa pohon kurma diantaranya, membuat suasana seakan-akan kami sedang berada di pantai Anyer, Banten. Ingatanku melayang ke Anyer, Banten dimana di kanan dan kiri jalan berdiri tembok-tembok tinggi para cukong Cina pemilik tanah yang entah dimana mereka berada. Kawasan wisata pantai dengan deretan pohon kelapanya seakan-akan tak lagi layak untuk dinikmati oleh warga sekitar karena sudah terkepung oleh bangunan dan tembok tinggi memanjang.

Kota Al Dhaid seakan menjadi tapal batas perbedaan dua tekstur alam; padang pasir dan bukit bebatuan. Pemandangan yang menakjubkan yang tidak terlihat di perjalanan camping sebelumnya terpampang di depan mata. Hamparan gunung batu terjal berdiri kokoh menjulang langit dengan bagian puncaknya yang runcing seakan-akan ingin membelah langit dan menunjukkan keperkasaan serta keakuannya. Jurang dalam yang menganga di kanan dan kiri jalan pun menambah kesan tersendiri yang mendukung kekokohan bebatuan itu. “Kayak di Saudi Arabia, ya mas”, tiba-tiba istriku membuat ingatanku pun melayang ke sana. Jalan raya yang membelah gunung batu terjal meliuk-liuk mengingatkanku pada jalan sempit di Puncak, Jawa Barat atau Alas Sroban di Jawa Tengah.

Pemandangan unik lainnya terhampar di depan mata; di beberapa daerah seperti di Pasar Jum'at (Souq Al Jum'ah), berjejer kios yang menjajakan karpet-karpet dari Iran, buah-buahan dan panganan untuk oleh-oleh dan beberapa kios kecil lainnya. Lagi-lagi ini pula yang melayangkan ingatanku pada saat aku menyusuri jalanan Jakarta-Bogor atau Tawang Mangu di Jawa Tengah. “Hmm.., benar-benar seakan bukan berada di tanah Arab”. Gumamku kepada istriku yang masih sibuk jeprat-jepret dengan kamera DSLR-nya. “Suasananya kayak kita sedang mudik ya mas”, timpalnya lagi.

Memasukki kota Dibba sekitar pukul 12:30. Sholat Jum'at dilanjutkan dengan makan siang di sebuah rumah makan Yaman, sebelum melanjutkan ke lokasi camping menjadi bagian dari perjalanan kami. Proses pemeriksaan di perbatasan UAE-Oman pun tidak bertele-tele dan semuanya berjalan dengan lancar. Tepat pukul 14:25 kami sampai di lokasi. Tanpa di komando, anak-anak berhamburan ke pantai; bermain pasir dan air laut. Tak perduli hawa panas masih menyengat bahkan jenuhnya perjalanan seakan lenyap tak berbekas, berganti dengan euforia karena menemukan arena bermain baru; pasir dan laut.

Suasana malam terasa indah. Hiruk pikuknya kota dan padat serta sibuknya pekerjaan serasa terlupakan. Api unggun di bawah cahaya bulan bulat penuh diiringi suara deburan ombak menambah suasana semakin indah. Ibu-ibu dibantu oleh bapak-bapak sibuk menyiapkan makan malam, sementara anak-anak bergerombol bermain bersama kelompoknya masing-masing. Kurang lebih jam 23: 40 aku yang sudah tak kuasa menahan kantuk pun berangkat tidur. Tiga cangkir kopi yang kuminum tak kuasa menahan kantukku. Selain hawa dingin yang sudah mulai menyeruak, rasa lelah karena perjalanan pun mungkin menjadi salah satu faktornya.

Kembali Ke Rutinitas

Pagi yang cerah, sisa hawa dingin semalam masih terasa meskipun sinar matahari mulai memancarkan panasnya. Sebagian anak-anak bermain pasir di tepi pantai sementara para ibu sibuk menyiapkan sarapan. Beberapa fotografer sibuk mengabadikan suasana pagi dan beberapa lainnya ngobrol sambil menikmati nikmatnya secangkir kopi panas. Aku sudah mulai nyicil untuk berkemas-kemas, beberapa barang yang bisa aku angkut ke mobil mulai aku masukkan dan rapikan.

Pukul 10:50 kami bergegas untuk pulang, setelah semua barang kami periksa untuk meyakinkan tidak ada yang tertingal. Dalam perjalanan pulang, kami menyempatkan diri untuk mampir ke Pasar Jum'at untuk membeli oleh-oleh. Ibu-ibu langsung turun dan sibuk menawar beberapa karpet buatan Iran yang kebetulan tokonya tepat di depan mobil yang kami parkir. Setelah semuanya beres, lalu kami pun tancap gas menuju jalur pulang. Ada satu kejadian lucu dalam perjalanan pulang ini; kami yang saat itu tinggal berempat memacu kendaraan kami masing-masing mencapai batas kecepatan maksimum yang diijinkan. Aku yang sedari awal mengikuti kendaraan yang ada di depanku, tiba-tiba merasa curiga karena kendaraan itu tidak menuju ke jalan pulang tapi ke arah lain. Setelah aku hubungi pengemudinya, ternyata ia dan keluarganya hendak mampir ke Dubai. Wah karena tahu sudah salah jalur, aku langsung balik arah dan ambil jalur untuk pulang. “Ternyata komunikasi sangat penting”, gumamku seraya sedikit menggerutu kenapa aku tidak percaya dengan kata hatiku untuk mengambil jalan yang aku yakini benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun