Mohon tunggu...
Saddam Attallah Jamaludin
Saddam Attallah Jamaludin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Murid SMA Mentari Intercultural School Grand Surya

Suka segala hal, hobinya main game dan Gundam. Tapi tidak lupa belajar supaya bisa masuk univ. favorit.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kekejaman Jepang terhadap Rakyat Indonesia pada Masa Penjajahan (Perang Dunia ke-2)

6 Maret 2023   12:30 Diperbarui: 6 Maret 2023   12:51 1123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Sudah hampir satu abad (78 tahun waktu penulisan) semenjak penjajahan Jepang di Indonesia. Banyak kebijakan yang diterapkan oleh Jepang di masa pendudukan mereka pada Perang Dunia Ke-2. Beberapa merupakan kebijakan yang menguntungkan bersama, namun kebanyakan tidak terlalu baik.

Awalnya, mereka bagaikan cahaya harapan bagi rakyat Indonesia karena sudah menendang Belanda yang sudah menjajah Indonesia selama tiga setengah abad. Lambat laun, Jepang mulai menunujukan warna asli mereka. Perlakuan-perlakuan mereka yang sangat kejam dan keji terhadap rakyat Indonesia dan warga Belanda meninggalkan sebuah luka yang dalam bagi mereka yang pernah ditindas oleh Jepang.

Tindakan Jepang yang tidak humanis seperti kebijakan Romusha yang memaksa rakyat Indonesia untuk bekerja keras dengan upah yang sangat sedikit, merampas hasil pertanian rakyat Indonesia sehingga membuat banyak rakyat Indonesia mati kelaparan, dan tanam paksa membuat rakyat Indonesia sangat menderita. Banyak yang kehilangan sahabat, keluarga, dan kerabat mereka karena tindakan tentata Jepang yang keji. Banyak wanita-wanita dipaksa menjadi budak seks untuk tentara Jepang. Menyebabkan trauma yang berat bagi korban penindasan Jepang.

Penindasan Jepang pada Rakyat Indonesia

Kempeitai dan Penyensoran Kritik terhadap Kekaisaran Jepang

Demi menjaga kedudukan mereka di Indonesia. Nippon mempunyai sebuah organisasi yang bernama Kempeitai, sebuah satuan polisi militer (mirip satuan Gestapo Nazi Jerman) yang juga berfungsi sebagai polisi rahasia yang ditempatkan di seluruh wilayah Jepang. Kempeitai dikenal sangat kejam kepada orang yang dianggap meresahkan dan mengnggu kekuasaan Jepang.

Tjak Doerasim, seorang bintang ludruk (sebuah kesenian drama tradisional Jawa Timur) yang telah mengkritik perlakuan Jepang pada warga Surabaya bagaikan 'merpati di dalam sangkar' dan membuat warga Surabaya menderita. Ia ditangkap oleh Kempeitai Jepang dan disiksa habis-habisan oleh polisi militer Jepang tersebut.

Pengetik naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sayuti Melik juga pernah menjadi keganasan Kempeitai. Ia disiksa oleh para Kempeitai dengan cara dipukul dengan pentungan sampai pingsan. Sayuti Melik diduga melakukan gerakan bawah tanah oleh Jepang sehingga terjadilah penyiksaan terhadap dia.

Romusha dan Tanam Paksa

Romusha dan Tanam Paksa, yang memaksa rakyat Indonesia untuk bekerja dan bertani untuk Jepang dengan upah yang sangat sedikit, makin semena-mena. Sebanyak 93.000 nyawa diambil oleh Romusha yang diterapkan oleh Jepang. Umur pekerja Romusha sangat beragam, dari yang muda sampai yang tua. Ini yang membuat Romusha sangat kejam, mereka tidak pandang umur. Banyak dari mereka masih muda, bahkan tidak sedikit diambil oleh Jepang untuk bekerja paksa saat mereka masih bersekolah. 

Sarjo bin Karto, seorang mantan korban Romusha asal Purworejo yang menjadi saksi kekejaman Romusha. Ia menjadi pekerja Romusha selama 3 tahun dan mulai bekerja dari umur 12 tahun. Ia ditangkap oleh tentara Jepang dengan teman-temannya saat masih duduk di kelas lima SD.

Ia dibawa ke Pulau Manuk dengan menggunakan kereta, dimana dia mendeskripsikan rasanya didalam kereta seperti diperlakukan sebagai 'hewan ternak.' 

Disana ia hanya diberi makanan sangat sedikit, sebanyak 250 gram atau 1 batok dengan garan seadanya setiap hari. Mereka diberi upah sebanyak 35 sen, sebuah jumlah yang sangat sedikit untuk pekerjaan yang mereka lakukan.

Setiap pagi, mereka dipaksa untuk menyangikan Kimigayo (lagu kebangsaan Jepang) dan hormat kepada bendera matahari terbit Jepang. Lalu mereka bekerja tanpa henti sampai jam 4 sore.

Katanya Sarjo bin Karto, hidupnya dipenuhi oleh duka dibandingkan suka. Setiap hari, dia melihat satu persatu pekerja Romusha tumbang akibat kondisi kerja yang keras.

Jugun Ianfu

Jugun Ianfu, atau wanita penghibur, adalah istilah yang digunakan untuk wanita yang melakukan layanan seksual kepada anggota Tentara Jepang selama Perang Dunia Ke-2. Awalnya, rumah bordil mendirikan oleh angkatan bersenjata Jepang dengan tujuan menyediakan layanan wanita penghibur untuk anggota tentara Jepang demi mengurangi insiden pemerkosaan. 

Namun, lama-lama, tujuan itu makin menyimpang dan tentara Jepang mulai memaksa wanita-wanita untuk menjadi Jugun Ianfu. Mereka mengincar wanita yang buta huruf, memiliki kesusahan finansial, atau berpendidikan rendah untuk diiming-iming dengan janji palsu agar menjadi budak seks. Banyak diantara budak seks atau jugun ianfu masih muda dan dibawah umur.

Seorang warga Indonesia bernama Sri Sukanti merupakan salah satu dari tidak banyak penyintas Jugun Ianfu Jepang. Sri Sukanti dibawa paksa oleh tentara Jepang saat ia berumur 9 tahun. Ayahnya menangis melihat Sri Sukanti dibawa paksa oleh tentara Jepang, jauh dari dirinya.

Di tangan tentara Jepang, Sri Sukanti diperkosa oleh perwira militer Jepang. Perwira militer Jepang itu melakukan tindakan kekerasan seksual dan hal yang tidak senonoh, tidak manusiawi kepada Sri Sukanti.

Disana, Sri Sukanti disuntik agar tidak hamil secara rutin oleh tentara Jepang. Suntikan tersebut sangat kuat, sampai Sri Sukanti 'nggak bangun' selama satu minggu. Sri Sukanti juga menjelaskan kesakitan di satu tempat saja yaitu pada tempat bekas suntikan.

Kejamnya, masih banyak perempuan lain yang berada di gedung Sri Sukanti berada pada saat itu. Namun, Sri Sukanti tidak bisa melihat mereka karena mereka berada di ruangan lain.

Penutup

Kekejaman Jepang kepada orang-orang yang tidak bersalah sangat tidak bisa diterima. Pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap korban-korban perlakuan tak senonoh Jepang meninggalkan luka yang mendalam bagi mereka, sebuah trauma yang besar.

Sayangnya, banyak dari pelaku kekejaman itu tidak bisa dihukum. Pemerintah Jepang masih membantah beberapa kejahatan yang telah mereka lakukan saat Perang Dunia Ke-2.

Kita harus mencegah hal ini dari terjadi lagi dengan berjuang demi perdamaian, dan mencegah dan menghentikan tindakan opresi terhadap suatu bangsa, ras, atau negara.

Referensi

- Frank Palmos - Surabaya 1945

- Petrik Matanasi - Korban-korban Kempeitai Zaman Jepang

- Republika; M Akbar - Jejak Romusha di Bayah

- BBC; Sri Lestari - Para penyintas perbudakan seks masa penjajahan Jepang yang terlupakan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun