Di sabtu sore yang mendung, penulis yang tengah menjaga toko kelontong milik orang tua kedatangan seorang anak kecil, kira-kira masih kelas 2 Sekolah Dasar, dengan masker yang menutupi hidung hingga mulutnya dan rambut yang terhitung gondrong untuk anak seusianya. Penulis kenal dengan anak kecil ini, rumahnya dekat, paling 200 meter jauhnya. Anak itu lalu membuka kulkas dan mengambil dua buah yoghurt rasa blueberry. Ia lalu mengeluarkan uang dari celananya sambil mengoceh, "Aku baru ngeliat matahari! Dibolehin keluar, tapi cuma buat jajan ke warung".
 Penulis melihat lekat-lekat anak itu, apa benar ia melihat ke atas sana? Atau ia hanya mencari topik obrolan ketika tak ia temui satu pun anak seusianya yang bermain dan berlarian di jalanan gang? Ketika ia pergi, penulis baru mengerti. Sial, mengapa kesialan juga menimpa seorang anak kecil yang tidak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi sekarang ini. Maret 2020 yang lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerbitkan Surat Edaran Nomor 15 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19. Maret 2020 juga mungkin terakhir kalinya untuk pelajar bertemu dengan teman sebayanya, guru, pesuruh sekolah, hingga pedagang kantin secara aktual dalam perjumpaan tatap muka.Â
Sejak itu, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) diterapkan, dan baik tenaga pendidik maupun peserta didik "terpaksa" beradaptasi dengan model belajar yang mungkin baru pertama kali dirasakan oleh mayoritas pelajar dan pengajar. Keterpaksaan itu bukan tanpa sebab, Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-Cov-2) yang lebih dikenal dengan virus corona, atau covid ini adalah virus yang menyerang sistem pernapasan, dan tak hanya menyebabkan gangguan sistem pernapasan ringan, tetapi juga infeksi paru-paru yang berat, hingga menyebabkan kematian.Â
Dengan karakteristik transmisi atau cara penularan yang cepat dan beragam seperti melalui kontak, droplet atau percikan, melalui udara (airbone), hingga melalui darah (baik ibu ke anak, juga binatang ke manusia), virus ini adalah penebar ancaman yang sudah seharusnya diwaspadai oleh tiap individu tanpa terkecuali. Kembali pada PJJ, menurut Moore, Dickson-Deane, & Galyen (Firdaus, 2020:222) pembelajaran daring adalah sebuah proses pembelajaran jarak jauh dengan bantuan akses media internet yang di dalamnya mencakup konektivitas, aksesibilitas, fleksibilitas, dan memungkinkan terjadinya beragam interaksi dalam proses belajar.Â
Zhang et al. (Firdaus, 2020:222) mengungkapkan dengan melalui jaringan internet dan pemanfaatan teknologi digital dapat mengubah cara pemberian materi dan menyampaikan pengetahuan serta menjadi salah satu solusi lain dalam pembelajaran yang dilakukan secara konvensional. Pada pembelajaran daring (online) ini papan tulis berganti jadi layar penuh aplikasi. Zoom, Google Classroom dan Meet, hingga WhatsApp merupakan media atau aplikasi paling umum yang digunakan saat belajar dari rumah.Â
PJJ bukan tanpa kendala, tak semua pelajar memiliki gawai, baik telepon seluler ataupun laptop, akses internet atau kuota, juga tak semua sumber daya manusianya memiliki literasi digital yang baik. Sumber daya manusia yang penulis maksud ialah para pengajar, baik guru maupun dosen, para pelajar, juga orang tua yang mungkin ingin membantu pembelajaran sang anak, tapi tak mengerti cara mengoperasikan teknologi dan aplikasi. Bahkan, menurut survei KPAI, di Papua sendiri, 54% pelajar sama sekali tidak melakukan pembelajaran sejak kebijakan belajar dari rumah diterapkan. Senada dengan pengakuan Anggi, faktor minimnya infrastruktur menjadi alasan utama.Â
"Tidak ada listrik, tidak memiliki handphone, jarak rumahnya jauh-jauh, gurunya tidak bisa kemudian melakukan proses ini semua. Guru kunjung tak ada. Papua tidak terjadi pembelajaran selama hampir 2 bulan," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, dalam artikel VOA Indonesia, 21/05/2020. Penulis akan mencoba mengurai apa yang terjadi terkait bejalar dari rumah atau PJJ dengan menggunakan perspektif Pierre-Felix Bourdieu, seorang Sosiolog strukturalis-konstruktif asal Prancis.
Habitus, Arena, dan Modal
Ya, tiga istilah di atas adalah konsep kunci Bourdieu yang akan penulis gunakan untuk menguraikan permasalahan belajar dari rumah. Habitus merupakan produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu. Habitus bukan bawaan alamiah atau kodrat tetapi merupakan hasil pembelajaran lewat pengasuhan dan bersosialisasi dalam masyarakat.Â
Proses pembelajarannya sangat halus, tak disadari dan tampil sebagai hal yang wajar. Habitus yang bermuatan pengalaman masa lalu, disimpan dalam bentuk persepsi, pemikiran, dan tindakan (Maliki, 2010:234). Menurut Bourdieu, habitus juga bisa dibayangkan sebagai struktur sosial yang diinternalisasikan, di mana habitus dibentuk oleh posisi seseorang di berbagai bidang atau struktur kelas, seperti jenis kelamin, umur, kelompok dan kelas sosial. Jadi, habitus tiap orang dapat berbeda-beda, tergantung posisinya dalam kehidupan sosial.
 Tetapi, habitus dapat pula menjadi fenomena kolektif. Di mana habitus memungkinkan orang memahami dunia sosial, tetapi dengan adanya banyak habitus berarti kehidupan sosial dan strukturnya tak dapat dipaksakan seragam kepada seluruh aktor. Habitus yang ada pada waktu tertentu merupakan hasil ciptaan kehidupan kolektif yang berlangsung selama periode historis relatif panjang (Krisdinanto, 2014: 199-200). Selama setahun bahkan lebih kita belajar dari rumah, habitus baru muncul, dan pembelajaran daring (online) dapat dikatakan sebagai habitus baru. Meski belum optimal dan memiliki beragam sisi negatif, PJJ yang setahun ini diterapkan mengharuskan stakeholders pendidikan beradaptasi dengan model pembelajaran, beragam aplikasi, hingga kultur baru yang hadir sekarang ini. Guru dan dosen, bak kembali duduk di bangku sekolah.Â