Mohon tunggu...
Sadam Syarif
Sadam Syarif Mohon Tunggu... Administrasi - Aktivis jalanan

Suka ngopi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Electoral College untuk Pilpres Berkualitas

28 Oktober 2023   19:16 Diperbarui: 28 Oktober 2023   19:25 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilihan umum Presiden dan wakil Presiden Republik Indonesia tahun 2024 dipastikan akan menghadirkan 3 pasang calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Namun, suasana bursa capres dan cawapres dalam negara demokrasi liberal dengan sistem multi partai seperti Indonesia tak selalu demokratis. Hal ini dikarenakan hanya mempraktekkan sistem populer Vote dalam proses Pilpres, figur calon pemimpin nasional ditetapkan dengan merujuk pada hasil survey elektabilitas figur politik dari beragam lembaga survey non pemerintah.

Dalam paradigma populer Vote, pemenang adalah kandidat yang memperoleh suara rakyat mayoritas melalui sistem pemilihan langsung. One man one vote. Tanpa memperhatikan kualitas dan rasionalitas pemilih.

Bisa dikatakan, pertimbangan pemilih dalam sistem populer Vote cenderung dipengaruhi oleh tingkat popularitas dan elektabilitas figur. Proses nominasi capres dan cawapres lebih merupakan hasil analisis, asumsi dan opini lembaga survey. Industri survey sosial politik sangat berpengaruh dalam menentukan sikap partai politik sebagai pemilik legitimasi pencalonan capres dan cawapres. Secara umum opini politik lembaga survey juga efektif mengagitasi pikiran rakyat sebagai pemilih untuk memilih capres dan cawapres tertentu.

Mengapa perlu menerapkan sistem electoral college?

Setidaknya terdapat dua alasan mendasar. Pertama, secara konstitusional, pasca reformasi Indonesia menerapkan sistem otonomi daerah atau desentralisasi. Pembagian wilayah dan struktur pemerintah Daerah ditetapkan dengan mempertimbangkan luas wilayah dan jumlah penduduk. Kedua, secara historis Indonesia merupakan negara yang dibentuk dari bangsa-bangsa yang multi etnis dan multi kultural.

Dalam praktek politiknya, realitas Sosio historis bangsa Indonesia tercermin pada sistem parlemen Indonesia. Di era pra reformasi, Kita mengenal "golongan utusan daerah" sebagai salah satu unsur penting dari komposisi politik lembaga Perwakilan atau lembaga parlemen. Pasca reformasi, konstitusi RI (UUD 1945) hasil amandemen tahun 2000 justru memperkuat dan mengafirmasi eksistensi otonomi daerah dan kemudian membentuk lembaga perwakilan khusus golongan utusan daerah sejenis senator dengan nama Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI).

Dalam tradisi demokrasi modern, lembaga perwakilan seperti DPD RI merupakan wujud kelembagaan politik yang sangat inklusif dan strategis bagi sebuah negara bangsa. Hal ini diperkuat dengan Paradigma Indonesia centris yang menjadi orientasi sekaligus rujukan pembangunan infrastruktur (fisik) nasional selama 2 periode kepemimpinan presiden Joko Widodo.

Bagi kami, Paradigma Indonesia centris merupakan wujud nyata sila ke 5 Pancasila "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," yang perlu kita adopsi ke semua bidang kehidupan bangsa. Termasuk dalam pembangunan demokrasi dan politik kebangsaan Indonesia.

Kami ingin mengatakan bahwa Sistem politik dan demokrasi Indonesia harus benar-benar menghadirkan keadilan politik bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan politik yang tidak hanya memungkinkan setiap warga negara terlibat langsung dalam proses pemilu. Namun juga keadilan politik yang inklusif dan representatif dalam kepemimpinan nasional. Keadilan politik yang mendefinisikan realitas politik yang memastikan setiap daerah otonom berhak menentukan figur pemimpin Nasional melalui lembaga perwakilan atau parlemen.

Sehingga, tidak perlu terjadi kasak kusuk populisme politik yang hanya menampilkan figur yang mewakili suku, agama dan etnis tertentu saja. Penerapan populer Vote memberikan kesan diskriminasi terhadap kelompok etnis, agama dan suku tertentu. Bahwa Presiden Indonesia sudah pasti Jawa dan Islam. Masih langgengnya Paradigma Jawasentris dalam bursa capres dan cawapres menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia tidak mencerminkan sistem politik kebangsaan yang inklusif dan representatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun