Mohon tunggu...
Sadam Syarif
Sadam Syarif Mohon Tunggu... Administrasi - Aktivis jalanan

Suka ngopi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ekses Presidensialisme dan Demokrasi Dinasti

28 Oktober 2023   15:53 Diperbarui: 28 Oktober 2023   16:05 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama Anak sulung presiden Joko Widodo Gibran Rakabuming Raka adalah nama yang booming hari-hari ini. Anak muda yang merupakan walikota Solo berusia 36 tahun itu kini resmi tercatat di Komisi pemilihan umum (KPU) sebagai calon wakil presiden. Gibran dipilih Prabowo Subianto, calon presiden dari partai Gerindra.

Jatuhnya Pilihan politik Prabowo dinilai sangat oportunistik, mengingat ini menjadi pencalonan presiden yang ke-3 kalinya bagi mantan komandan komando pasukan khusus (kopassus) itu. Terlepas dari dinamika politik yang berkembang selama proses penetapan bakal calon wakil presiden, publik tentu sudah memahami bahwa faktor presiden Joko Widodo adalah penentu dari setiap keputusan politik Prabowo. 

Keistimewaan nasib politik Gibran yang ditopang oleh pengaruh nasab politik Ayahanda menjadikannya sebagai pemuda paling beruntung di negeri ini. Dia nyaris sempurna menapaki semua Anak tangga politiknya. Bahkan jika harus melampaui semua batasan hukum yang memagari birahi politik warga negara. Lembaga hukum konstitusi tega merendahkan pagar kehormatan hukum agar lompatan politik Gibran berjalan mulus.

Akibatnya, muncul stigma dinasti terhadap perilaku politik keluarga besar Jokowi. Sulit bagi para pemerhati politik dan hukum untuk tidak melekatkan istilah dinasti pada fenomena yang masih menghangatkan percakapan politik publik hari-hari ini. Keterlibatan langsung ipar Jokowi sebagai ketua Mahkamah Konstitusi dalam keputusan Judicial Review UU pemilu terkait usia capres dan cawapres adalah indikasi utama yang memicu perdebatan publik.

Perilaku mempromosikan anggota keluarga untuk sebuah jabatan politik dalam demokrasi tentu tidak dilarang secara konstitusional. Sudah menjadi common sense bagi manusia yang sedang berkuasa untuk memastikan masa depan politik anak cucunya diakui secara sosial politik. Jokowi dengan segala legitimasi presidensialisme adalah simbol patronase politik yang sangat berharga. Pengaruh politik Jokowi tercermin pada rilis Litbang Kompas, di mana tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin mencapai 74,3% pada Agustus 2023. 

Setiap Kekuasaan politik di suatu negara demokrasi memiliki potensi Dinasti. Di Indonesia, Dinasti politik terjadi di hampir semua level dan jenis kekuasaan. Baik di pusat maupun di daerah. Pola perilaku mewariskan jabatan politik ini banyak terjadi di kekuasaan eksekutif dan legislatif. Hal ini disebabkan oleh kualitas demokrasi suatu komunitas politik yang cenderung lemah dan masih mengakarnya tradisi feodalisme politik. 

Feodalisme politik, menurut Pengamat politik UGM, Dr. Ari Dwipayana, memiliki ciri, yaitu pemimpin ditempatkan sebagai patron yang dipuja dan memiliki segalanya. Dalam tradisi feodalisme restu atau legitimasi sang patron menjadi sangat penting. Siapa yang direstui oleh patron menjadi penerusnya akan punya bobot penerimaan yang sangat kuat di lingkaran elite.

Berbeda dengan karakter dinasti politik di banyak negara yang dilakukan secara tidak langsung. Di Indonesia, pola mempromosikan anggota keluarga pada jabatan politik dilakukan secara langsung saat pejabat politik senior yang sedang aktif menjabat. Katakanlah Presiden mempromosikan anak dan menantu menjadi pejabat politik di level daerah bahkan pada kontestasi politik berskala Nasional.

Demokrasi Indonesia benar-benar didefinisikan secara vulgar oleh oknum penguasa sebagai kebebasan dan momentum mewariskan kejayaan jabatan politik kepada anak-anak tercinta. Sehingga Kami menyebutnya dengan istilah "demokrasi Dinasti. Praktek berdemokrasi ala monarki yang lahir akibat sistem presidensialisme absolut di negara Republik. 

Presiden Indonesia memiliki legitimasi politik dan kewenangan hukum yang sangat besar. Di mana Presiden adalah simbol kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Kewenangan politik presiden melampaui semua jenis kekuasaan dalam sistem Trias politica yang dianut sebuah Republik. Selain fungsi pokoknya sebagai ekskutif. Presiden juga memiliki pengaruh politik yang besar dan istimewa dalam hal legislasi bersama Parlemen. Dalam fungsi yudikatif, presiden secara politik memegang kuasa untuk menentukan siapa yang berhak menjadi kepala dari lembaga penegak hukum. Presiden, dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 diberikan kewenangan untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi kepada para narapidana.

Gejala buruk presidensialisme dijelaskan oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dalam buku Hukum Tata Negara Indonesia (1981) sebagai sistem pemerintahan yang menempatkan kedudukan eksekutif yang tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat. Kekuasaan eksekutif dalam sistem presidensial cenderung tidak mendapat pengawasan badan legislatif, sehingga dapat menimbulkan kekuasaan mutlak. Hal ini diakibatkan oleh Sistem pertanggungjawaban kurang begitu jelas. Di sisi lain, proses Pembuatan kebijakan publik umumnya merupakan hasil tawar-menawar lembaga eksekutif dan legislatif, sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas serta memakan waktu lama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun