Mohon tunggu...
Sadam Syarif
Sadam Syarif Mohon Tunggu... Administrasi - Aktivis jalanan

Suka ngopi

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Menggugat Environmental Etic Jokowi

24 Oktober 2020   06:11 Diperbarui: 24 Oktober 2020   19:31 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sampai dengan tahun 2017, di era Pemerintahan Jokowi luas tutupan hutan alam tersisa 82,8 juta hektare atau sekitar 43 persen dari luas daratan Indonesia. Rasio luas tutupan hutan alam dibanding luas daratan pun semakin terlihat miris. Hasil permantauan tahun 2018 dan 2019, dapat dilihat bahwa secara netto deforestasi Indonesia tahun 2018-2019 terjadi kenaikan sebesar 5,2%, (PPID KLHK).

Sementara Dalam laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada juli 2020 lalu, Indonesia masih terhitung dalam 10 besar negara dengan luasan hutan terbesar. Pertama adalah Rusia yang memiliki 815 juta hektare area hutan. Angka itu setara dengan 20% dari total area hutan di bumi. Brasil yang terkenal dengan keanekaragaman organisme di hutan Amazon menyusul dengan kepemilikan 497 juta hektare atau 12% dari total area hutan di bumi. Indonesia masuk dalam 10 negara dengan area hutan terluas. Negara kepulauan itu mempunyai 92 juta hektare area hutan atau 2% dari total area hutan global (databoks).

Pasca disahkan UU Omnibus Law Ciptaker yang telah meniadakan batasan minimal 30% kawasan hutan dan dihapuskannya klausul larangan menebang pohon pada zona tertentu di area hutan, sungai, waduk dan tebing, secara ekologis setidaknya akan mengancam pertama habitat satwa liar yang dilindungi. 

Kedua, kesediaan air bersih bagi manusia dan yang terakhir adalah tentang keadaan mitigasi bencana alam yang semakin lemah dari ancaman tanah longsor dan banjir, berikut ancaman terhadap kehidupan masyarakat adat yang selama ini menjaga kelestarian hutan alam. Karena melalui UU liar ini, potensi deforestasi ke depannya akan semakin meningkat.

Karakter ultra-antroposentrisme dalam UU Omnibus Law Ciptaker secara nyata akan mengancam keseimbangan ekologi. Bank Dunia yang terkenal sebagai kapitalis tulen bahkan telah mewanti-wanti masalah lingkungan hidup yang tertera di dalam setiap versi draf (R)UU omnibus Law ini. Melalui UU ini, publik patut mempertanyakan kualitas Etika Lingkungan presiden Jokowi yang sejak 2014 mengkampanyekan revolusi mental. Apakah konsepsi Omnibus Law Ciptaker telah benar-benar mempertimbangkan etika utilitarianisme kebijakan yang proporsional dan berkeadilan.

Etika lingkungan merupakan sikap menghargai dan sikap tanggung jawab terhadap alam. Etika lingkungan tidak hanya berbicara mengenai perilaku manusia terhadap alam, namun juga mengenai relasi antara semua kehidupan alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada alam dan antara manusia dengan makhluk hidup lain atau dengan alam secara keseluruhan. 

Dalam perspektif Islam, manusia dan lingkungan memiliki hubungan yang sangat erat karena Allah SWT menciptakan alam ini termasuk di dalamnya manusia dan lingkungan agat terjalin keseimbangan dan keserasian. Keseimbangan dan keserasian ini harus dijaga agar tidak mengalami kerusakan. Karena kelangsungan kehidupan di alam ini saling terkait yang jika salah satu komponen mengalami gangguan maka akan berpengaruh terhadap komponen yang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun