Masih dalam fenomena Ramadan, hal yang juga alpa dari hadapan publik adalah tradisi akbar masyarakat Indonesia yang disebut mudik. Sebuah gejala budaya yang telah terbentuk sejak puluhan tahun ini harus terjeda oleh ketakutan kolektif bangsa yang diterjemahkan oleh otoritas negara dan daerah melalui kebijakann PSBB dan karantina wilayah. Meskipun menjadi sebuah keputusan yang terus diperdebatkan dan tidak benar-benar dilaksanakan secara total.Â
Namun, di balik kelamnya awan hitam covid-19 yang menyelimuti sucinya Ramadan, setidaknya terdapat banyak keberkahan tersembunyi (blessing in disguise) yang sekiranya bisa kita hayati dan amalkan dengan penuh kesabaran, maka akan menjadi hadiah paling berharga di hari kemenangan idhul Fitri nanti. Â Â Â Â
Ramadan di tahun Corona ini sesungguhnya sedang mencoba mengajarkan kepada umat Islam dunia khususnya Indonesia tentang makna terdalam dari syariat puasa yang justru sering kali kita abai di Bulan Ramadan sebelumnya.
Praktek-praktek mubazir dan berlebihan dalam mengkonsumsi bahan makanan umat Islam hari ini mungkin sedang dikoreksi secara signifikan. Perilaku hemat dalam memenuhi kebutuhan harian dengan menyediakan menu berbuka secara sederhana dan secukupnya bagi keluarga adalah sisi lain psikologi Ramadan yang sepertinya akan sepi takjil ini.Â
Kesempatan untuk berkumpul di luar rumah pun semakin menjadikan umat ini menegasikan hal-hal yang tidak bermanfaat. Kesejatian puasa yang mengajarkan umat ini berlaku sahaja dan terkontrol secara emosional baik dalam ucapan dan perbuatannya diharapkan bisa menjadi bekal membagun bangsa di masa-masa pasca pandemik.
Dunia Islam sedang disuguhi dengan sebuah fenomena Ramadan yang sejak lama hanya dirasakan oleh saudara-saudaranya yang hidup dalam keterjajahan dan perlakuan diskriminasi bahkan oleh penguasa di negerinya sendiri.Â
Psikologi Ramadan Umat Islam Gaza, Rohingya dan Islam Uighur di Xinjian China sedang diujicoba secara kolektif kepada umat Islam sedunia. Akankah kita mampu merasakan dan menanggung beratnya beban ujian kehidupan yang selama ini praktis hanya dirasakan sendiri oleh mereka.Â
Tentu juga agar kita dapat merasakan perihnya pandemik kemiskinan yang selalu dinikmati sendiri oleh kaum dhua'fa baik di kota-kota besar maupun yang tersembunyi di pelosok daerah.Â
Akankah kita siap untuk merasakan penderitaan mereka itu di saat kita juga sedang merasakan kesempitan akibat dipotong gaji bulanan dan bahkan diberhentikan dari pekerjaan. Layaknya Sayidina Ali Bin Abi Thalib yang rela mensedekahkan buah delima yang diperuntukan sebagai obat penyembuh atas sakitnya Fatimah Azzahra kepada seorang Dhu'afah. Â Â Â Â Â
Corona dan Ramadan merupakan dua jenis instrumen tarbiyah kejiwaan yang harus kita maksimalkan sebelum kita bergegas menyiapkan opsi-opsi strategis dalam menata kembali situasi ekonomi dan sosial bangsa pasca krisis kemanusiaan ini.Â
Hari-hari yang dilewati dengan lebih banyak di rumah dan menyendiri di kamar, harus menjadi momentum untuk meningkatkan intimasi spiritual kita dengan Tuhan yang Maha Pengampun dan Maha Pengasih.Â