"Tanpa keadilan, negara tidak lain hanya gerombolan perampok yang terorganisir" (St. Agustinus)
Di periode lalu, Presiden RI Joko Widodo secara meyakinkan mendemonstrasikan setidaknya 16 Paket kebijakan Ekonomi. Dengan penuh optimisme paket demi paket ekonomi tersebut diartikulasikan ke hadapan publik dan pasar dengan penuh harapan yang mencemaskan. Dan tentu saja, dampaknya dari sebuah kebijakan yang basis kajian datanya adalah pasar selalu akan berhadapan dengan ketidakpastian yang ambiguistis.Â
Ibarat pemain atau spekulan saham, begitu kira-kira analognya. Tapi kebijakan publik strategis tidak seharusnya terpapar pragmatisme mimpi. Ya.. mimpi meroketkan angka pertumbuhan ekonomi.
Dan kini. Setumpuk roket, eh paket ekonomi tersebut entah ke mana dampak peluncurannya. Entah di titik-titik strategis ekonomi mikro ataukah bisa jadi di pangkalan ekonomi makro Nasional. Publik sejatinya tidak pernah terbuai dengan mimpi-mimpi manis itu dulu. Variable pertumbuhan Ekonomi nasional justru stagnan. Terjadi defisit anggaran dan defisit neraca dagang tertinggi dalam sejarah ekonomi Indonesia. Pengangguran para sarjana meluas. Utang luar negeri menumpuk.
Habis paket tibalah bus omni. "Omnibus Law" demikian terminologi hukumnya. Singkatnya, barang ini seperti Sebuah angkutan umum hukum (Undang-Undang) yang akan ditumpangi oleh beberapa jenis UU yang kira-kira memiliki kesamaan tujuan. Pada konteks ini, tujuan atau maksud baik UU omnibus law ini adalah pertumbuhan ekonomi.Â
Misinya adalah dengan menyiapkan lingkungan investasi yang nyaman dan membentangkan karpet merah bagi investor asing. Dan misi yang terakhir adalah menciptakan lapangan kerja. Untuk misi yg terakhir, tenaga kerja yang dimaksudkan adalah tenaga kerja Indonesia dan juga tenaga kerja asing.
Pada kluster UU omnibus law pertama, pemerintah dilaporkan tengah menyiapkan 4 jenis UU untuk ditumpangi dalam satu kluster tersebut. Mereka adalah UU ketenagakerjaan, UU Perizinan Usaha, UU Perpajakan dan UU pemindahan ibukota negara. Untuk menyempurnakan proses penyusunan UU jamaah ini, pemerintah telah menyiapkan satu personil khusus dengan nama Satgas UU omnibus Law.Â
Isi struktur satgasnya bisa dicek sendiri. Adapun Tugasnya adalah memulihkan kembali kondusifitas dan kenyamanan usaha bagi investor. Dengan menciptakan kepastian hukum, melalui kemudahan perizinan dan lain-lain.
Lantas, apakah UU omnibus law ini akan efektif dan efisien bagi pemertaan ekonomi? Atau setidaknya mampu mengurangi kesenjangan ekonomi dan sosial masyarkat? Siapakah yang paling diuntungkan? Setidaknya, pemerintah bertanggung jawab untuk menjawab pertanyaan terakhir di atas. Karena Esensi daripada pertanyaan tersebut adalah tentang "keadilan", maka publik setidaknya harus sadar, pada poin mana saja yang kira-kira akan berdampak langsung bagi rakyat banyak yang notabene tidak memiliki aset apalagi perusahaaan. Mari kita kaji!
Soal UU perpajakan. Praktis akan berpengaruh langsung pada subsidi negara pada hajat rakyat pada kesehatan, listrik, bahan bakar dan lain-lain. Karena kebijakan pajak yang semakin longgar dan memungkinkan tingkat kepatuhan membayar pajak semakin rendah. Meskipun objek pajaknya diperbanyak, yakni pajak digital dan pajak biasa. Mengingat pencapaian pajak yang selalu lebih rendah dari targetnya selama ini, spekulasi kebijakan pajak yang tidak hati-hati ini patut untuk dipertanyakan.
Yang kedua soal UU ketenagakerjaan. Akibat UU ini, puluhan organisasi buruh tengah menyiapkan ribuan anggotanya untuk melakukan aksi protes dalam beberapa hari ke depan. Indikator ketidakadilan omnibus law pada UU ketenagakerjaan adalah bagian yang paling terang dan jelas. Meski harus diakui bahwa rendahnya produktivitas dan tingginya upah tenaga kerja Indonesia merupakan alasan di balik dievaluasinya UU ini.Â