Tentang kegembiraan perayaan ...
Rangkaian upacara peringatan kemerdekaan tahun ini selepas barikade pandemi memang terasa lebih masif digelar dari tingkat nasional sampai jenjang rukun tetangga. Begitupun berbagai aktifitas penggembira yang menyertainya dari mulai aneka perlombaan khas 17-an seperti adu cepat makan kerupuk dan tarik tambang, jor-joran diskon aneka produk sampai dengan penganugerahan apresiasi untuk para peraih prestasi lintas bidang lintas skala pun berlangsung lebih semarak.
Kemerdekaan memang anugerah yang istimewa dan sangat penting, ya?
Budak penggali jalan dan budak seks ...
Jadi teringat pada banyak leluhur kita yang diuji mengalami nasib jadi budak-budak penjajah VOC Belanda di era pemerintahan gubernur Herman Willem Daendels, yang dipaksa bekerja nyaris tak kenal waktu menggali dengan peralatan seadanya jalur jalan antara Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur) sepanjang 1000 kilometer.
Banting tulang di bawah intimidasi fisik dan mental para mandor yang tak kenal belas kasihan, tanpa upah ditambah dukungan pangan yang bisa dibilang sangat minus. Bagi mereka, segala kegembiraan sederhana yang kita cicipi itu bak bulan yang sangat dirindukan burung pungguk. Terlalu jauh bahkan untuk sekedar diimpikan.
Padu padan aneka kebaya dan busana tradisional lainnya yang telah diadaptasi dengan selera kekinian terpampang cantik di layar-layar aneka gawai pun merupakan kemustahilan bagi para perempuan yang tak berkutik saat mereka ditangkapi lalu dijebloskan paksa ke kamp-kamp bordil sebagai pemuas syahwat kelamin para serdadu Belanda atau Jepang di era kolonial mereka masing-masing.
Syukur aku sembahkan ..
Kemerdekaan bisa begitu nikmat untuk dirayakan dengan mengenang sepenuh hormat tiap tetes peluh, air mata, dan darah para pejuang yang menumbalkan hidup mereka, berikut sanak keluarga serta handai taulan yang ikut berjibaku, untuk sebuah revolusi.Â
'Terima kasih' pada para pejuang selayaknya tak sekadar jadi pemanis bibir, namun membenih di dasar nurani yang semoga perlahan akan bertumbuh mengakar sebagai sebentuk syukur padaNya.
Bagaimana pun tanpa ijin Sang Khalik, Sang Pencipta sekaligus Pemelihara semesta raya, maka segenap perjuangan termasuk pengorbanan yang dipersembahkan pasti hanya akan sia-sia belaka. Ungkapan syukur nan tulus pula yang kelak akan memperkaya berkah dari kemerdekaan ini sepanjang perjalanan eksistensi bangsa ini ke depab.
Alunan lagu nasional berjudul 'Syukur' karya Sayyid Muhammad Husain Al Mutahar alias H Mutahar yang kerap digunakan mengisi momen mengheningkan cipta saat upacara 17 Agustus berlangsung terasa sungguh mengena.
"Dari yakin 'ku teguh// Hati ikhlas 'ku penuh//Akan karunia-Mu// Tanah air pusaka// Indonesia merdeka// Syukur aku sembahkan// Kehadirat-Mu Tuhan .."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H