Kemana ayahmu, Nak?
Ada empat latar belakang yang menyebabkan seorang anak kehilangan relasi dan interaksi dengan bapaknya; yaitu kematian sang ayah yang menjadikannya anak yatim, perceraian orangtua dimana pengasuhan diserahkan pada ibu, terlahir di luar pernikahan dengan sosok ayah yang tak jelas siapa atau dimana, dan kasus yang saat ini sangat familiar dimana figur ayah ada sekaligus tiada dalam perjalanan hidup anak. Banyak sekali ayah yang secara fisik berada dalam keluarga, namun absen secara emosional alias tak punya kepedulian pada anak-anak mereka.
Mirisnya jumlah anak tak berbapak ini sangatlah banyak di dunia, Â pada tahun 2022 di Amerika Serikat saja tercatat ada sekitar 18,3 juta anak dengan kondisi sedemikian. Entah bagaimana populasinya di negara-negara yang kondisi politik-ekonominya di bawah Negeri Paman Sam itu.
Pendakian kehidupan tanpa bimbingan ayah memang curam dan terjal, Nak ...
Edward Kruk, PhD, Lektor Kepala jurusan Pekerjaan Sosial di University of British Columbia (Kanada) dengan spesialisasi kebijakan untuk anak dan keluarga; memaparkan bahwa terlepas dari latar belakangnya, para bocah tak berbapak umumnya mengalami sejumlah hambatan yang sama dalam proses tumbuh-kembang fisik dan mental mereka.
Kruk menjabarkan, sebagaimana dilansir Psychology Today, bahwa mayoritas bocah tak berbapak memiliki konsep diri negatif dimana mereka menilai diri sendiri sebagai pihak yang tak diinginkan dalam setiap interaksi lingkungan sehingga seringkali mereka memilih kompromi yang berpotensi membahayakan fisik-psikis mereka agar bisa diterima dalam pergaulan.
Mereka juga memiliki perilaku bermasalah, suka membolos yang berujung pada buruknya prestasi akademik. Kenakalan dan kejahatan remaja, bahkan yang melibatkan tindak kekerasan, sudah menjadi bagian integral keseharian mereka selain pergaulan bebas dengan imbas kehamilan di usia remaja.
Anak tak berbapak, masih menurut Kruk; juga akrab dengan penyalahgunaan miras-narkoba, menggelandang sebagai tunawisma, rawan dieksploitasi-dianiaya, didera berbagai masalah kesehatan fisik, mengidap gangguan jiwa, tak cakap membina hubungan jangka panjang, dan cenderung mati muda.
Apa yang bisa kami lakukan untukmu, Nak?
Potret kehidupan bocah-bocah malang yang kini kuantitasnya mencapai puluhan juta orang di dunia itu memang bikin merinding dan menggugah rasa iba. Sekaligus berkontemplasi, sebenarnya peran apa saja yang dibutuhkan seorang anak dari figur ayah?
Penelitian pustaka Muh. Mu'ads Hasri, seperti dirilis dalam An-Nur Jurnal Studi Islam, Volume X, Nomor 1, Juni 2020 M/14141 H; menunjukkan bahwa Al Qur'an telah memberikan panduan tentang peran ayah yang sangat dibutuhkan dalam proses tumbuh-kembang seorang anak. Seorang ayah memiliki kewajiban untuk memantau dan mengontrol aktifitas keseharian anak, menanamkan nilai-nilai pendidikan, membangun kedekatan dan komunikasi yang baik bersama anak, serta memberikan dukungan dan arahan yang baik.
Deskripsi peran di atas merupakan pendalaman dari peran ayah sebagai pemimpin keluarga yang memiliki dimensi luas dari mulai mencari nafkah yang halalan wa thoyyiban, mendidik dengan memberikan keteladanan sampai menikahkan putra-putrinya.
Jadi bisa dibayangkan bagaimana para anak tak berbapak harus berjuang untuk mengisi kekosongan eksistensi ayah yang menjadi nutrisi wajib dalam tumbuh-kembang hidup mereka saat perlahan beranjak dewasa. Sementara para bunda mereka babak belur berjibaku menjalani multiperan dalam upaya membesarkan anak-anak mereka.
Alangkah manusiawi bila sistem sosial yang lebih besar tempat anak-anak itu berada mengulurkan tangan untuk setidaknya mengisi sebagian atau seluruh kekosongan yang ditinggalkan figur ayah. Semua anak berhak tumbuh-kembang menjadi individu kompeten, minimal untuk mendapat jatah masa depan yang kondusif dalam peradaban ini.
Butuh satu kampung untuk membesarkan seorang anak ...
Ungkapan populer di atas sebenarnya merupakan sebuah pepatah dari Afrika yang bermakna dibutuhkan banyak orang ('kampung') untuk menyediakan lingkungan yang aman dan sehat bagi anak-anak, di mana mereka diberikan keamanan yang dibutuhkan agar bisa tumbuh dan berkembang sampai mampu mewujudkan harapan dan impian mereka.Â
Kondisi di atas menuntut adanya lingkungan di mana suara anak-anak dianggap serius (Gladstone B, dkk, 2021)) dan di mana banyak orang ('penduduk kampung') termasuk orangtua, saudara kandung, anggota keluarga besar, tetangga, guru, profesional, anggota masyarakat dan pembuat kebijakan secara keseluruhan mempunyai kepedulian terhadap anak.
Semangat gotong royong setiap elemen masyarakat untuk berkontribusi sesuai kapasitas masing-masing dalam mengisi kekosongan peran ayah akan sangat membantu para bocah tak berbapak agar bisa menjadi individu dewasa yang mandiri dan mampu bahagia.
Kontribusi dalam bentuk finansial dialokasikan untuk menafkahi anak-anak tersebut agar bisa mendapat akses sandang-pangan-papan memadai. Sementara pembinaan religius dan edukasi akademik dasar adalah kontribusi primer untuk pembangunan karakter mereka.Â
Manajemen 'kampung' yang dilandasi ketulusan dan disiplin sangat berpotensi menghantar bocah-bocah tak berbapak tumbuh-kembang menjadi aset bangsa yang mandiri dan kompeten dalam melahirkan masa depan yang lebih sejahtera.
Recehan sisa uang belanja untuk mengisi kotak sumbangan panti asuhan, ketrampilan untuk diajarkan secara gratis, menjadi pembimbing menghafal Qur'an, ... apa saja kebaikan dan manfaat yang bisa dibagikan pada mereka akan menjadi nutrisi untuk membangun perisai yang kokoh agar mereka mampu menangkal segala jenis racun dari berbagai penjuru yang mengancam kesejahteraan lahir-batin mereka.Â
Mari membangun 'kampung' di lingkungan masing-masing dengan niat menebar benih kebajikan untuk kebaikan para bocah malang itu dan kebaikan masa depan kita sendiri. Pastikan mengajak keluarga, kerabat, dan jaringan sosmed masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H