Semalam (12/5) kami menggelar buka puasa bersama hari terakhir Ramadan 1442 H ini di basecamp disertai harapan serta doa agar dipertemukan kembali dengan Ramadan berikutnya dalam kondisi kesehatan dan keimanan yang jauh lebih baik.
Tradisi buka bersama jelang malam takbiran dengan sangat minimal hadirin pada Ramadan 1441 H tahun silam, kali ini telah mulai menemukan kehangatannya kembali dalam pengawalan protokol kesehatan pandemi. Alhamdulillah.
Memang belum lengkap, namun mayoritas anggota keluarga besar basecamp minus mereka yang tertahan di perantauan bisa hadir. Setelah prosesi semprot sanitizer, kami saling bersalaman dan mengusap punggung sambil bertukar kabar.
Duduk lesehan menanti adzan Magrib lalu lanjut mengobrol leluasa lintas generasi dengan beragam topik. Dari deadline penyerahan draf skripsi jam 12 malam itu juga sampai kisah salah seorang saudara kami yang dimintai tolong oleh teman lamanya semasa aktif di geng moge dahulu. Alkisah keponakan manis sang teman yang baik hati dipinjami motor oleh kenalannya, seorang cowok cute yang dengan watados (wajah tanpa dosa) berkata, "Neng, pinjem sebentar, yaa... ".
Neng mengizinkan dan masalah bermula saat 'sebentar' yang identik dengan 'satu-dua jam' molor sampai tak jelas juntrungannya.
Saudara kami yang dianugerahi tubuh tinggi besar dan terkenal agak sangar itupun dimintai tolong untuk menanganinya. Syukurlah motor bisa kembali dan kecemasan seorang bunda bahwa putranya bakal dijebloskan ke bui pun berakhir baik. Intinya, dengan catatan tebal agar itikad kriminal itu tidak diulangi lagi di masa mendatang, cowok itu dimaafkan.
Maaf memang tak selalu hadir dengan ringan. Ada yang butuh banyak dekade dalam kehidupan untuk berdamai dengan luka di masa lalu, memahami situasinya secara bertahap sampai akhirnya cukup tegar untuk memberikan maaf pada si Pembuat Luka. Meski seringkali yang bersangkutan sudah sama sekali lupa dengan 'kejahatan' yang telah dilakukannya. Bahkan mungkin malah tak pernah sadar kalau perbuatannya di masa silam telah meninggalkan jejak luka yang sangat dalam.
Kadang perjalanan waktu pula yang mampu mengikis keangkuhan diri yang menerapkan aturan utama bahwa 'aku selalu benar' dan jika orang lain mendakwa, maka kita akan memaksanya dengan segala daya untuk menerima aturan itu. Sampai sebuah peristiwa membadai kesombongan diri dan membuka mata bahwa nyatanya 'aku tidak selalu benar'.Â
Tersadar akan kebutuhan minta maaf demi kedamaian hati. Lalu berbagai pertimbangan, yang umumnya berakar pada gengsi alias terlalu tinggi memposisikan diri karena lahir lebih dulu atau jenjang status sosial lebih atas, acapkali membuat permohonan maaf jadi terus tertunda untuk disampaikan.
Kita butuh jembatan untuk menyeberangi riak-gelombang kendala psikis agar bisa mencapai gerbang maaf, baik meminta maupun memberikannya dengan ketulusan paripurna.
Begitulah, kami makan bersama dengan hidangan ala kadarnya, diseling mendirikan Magrib dan Isya di masjid bagi para lelaki serta di mushola basecamp bagi kaum perempuan.