Kontradiksi rutin Ramadan adalah kita berpuasa yang secara fisik berarti tidak-makan minum dari terbit fajar sampai kumandang adzan Magrib, artinya juga secara logika dana untuk urusan mengisi perut ini bisa berkurang separuh dari hari biasa. Teoritis memang begitu, tapi faktanya selama Ramadan mayoritas kita justru mendapati anggaran belanja dapur yang membengkak.
Itu sedikit merepotkan, apalagi kalau sumber penghasilan tidak ikut berkembang biak dan ujung-ujungnya harus menggali 'sumur' baru untuk menambal kebocoran. Bisa-bisa selepas Ramadan sekeluarga kelimpungan terpenjara dalam ritual 'gali sumur' dalam jangka panjang.
Sebelum terjerumus dalam belenggu gali-menggali, ada baiknya duduk manis  selepas Subuh dan tadarus pagi dengan pulpen-kertas di tangan untuk menuliskan berbagai pos pengeluaran keluarga yang diperkirakan akan muncul sepanjang Ramadan sampai Lebaran nanti dan, garis bawahi ini, minimal dua minggu setelah Lebaran.
Suasana bisnis biasanya masih menggeliat malas di periode seminggu sebelum sampai dua minggu setelah lebaran dan gajian bagi karyawan masih harus menunggu akhir bulan atau bahkan awal bulan depan. Jadi supaya Ramadan dan Lebaran bisa berakhir dengan happily ever after plus bebas dari kucing-kucingan dengan penagih hutang, mari segera buat daftar apa saja yang harus dibayar dan dibeli.
Secara umum pos pengeluaran terbagi menjadi dua, yaitu pos pengeluaran yang tak bisa dikompromikan lagi dan pos pengeluaran yang masih bisa disiasati.
Contoh pengeluaran yang memang tak bisa ditawar adalah pos-pos rutin seperti biaya pendidikan anak-anak, biaya transpotasi, tagihan bulanan seperti rekening listrik-air-cicilan kredit kalau ada dan pos spesial Ramadan seperti zakat fitrah. Pastikan tidak ada yang luput dicatat.
Selanjutnya perihal pos yang bisa disiasati, primadonanya adalah anggaran makan. Menarik bukan? Saat jatah waktu makan berkurang separuh, justru kita malah kelebihan hidangan yang ujung-ujungnya menggembrotkan anggaran dan berpotensi bikin tekor.
Lapar mata ditambah sikap hedonistik memanjakan perut dengan segala asupan berlebihan yang sebenarnya takkan mampu dikelola secara optimal oleh sistem pencernaan tubuh adalah biang kerok pembobol anggaran nomer satu di bulan Ramadan. Apalagi kalau ujung-ujungnya pos pengeluaran bertambah dengan biaya rumah sakit akibat kebanyakan makan, maka semakin gemporlah pundi-pundi keluarga.
Wajar saja sebenarnya kalau awal-awal Ramadan dimana kita masih beradaptasi fisik dan psikis, pertahanan diri menghadapi serbuan kuliner domestik maupun global terbilang belum kokoh sehingga sedikit longgar anggaran.
Tapi maksimal hari ketujuh, ikat pinggang harus kembali diketatkan secara proporsional. Pelit alias kikir sama sekali tidak disarankan untuk kemaslahatan diri maupun sesama. Tubuh butuh nutrisi yang baik, sementara mereka yang membutuhkan perlu dibantu untuk mendapat asupan yang memadai lewat zakat-infaq-sedekah.
Lantas bagaimana mendisiplinkan selera akan berbagai jenis makanan yang saat puasa terlihat begitu menggoda?
Kunci pertama adalah musyawarah untuk mufakat. Jika ayah, ibu, dan anak punya hasrat mencicipi makanan tertentu yang berbeda-beda; maka buat konsensus saja pilihan menu siapa yang akan disajikan pada hari ini, besok, dan lusa.
Bergiliran agar semua terakomodir dan anggaran belanja tetap normal. Ibu sebagai penjaga gawang keuangan harus tegas dalam hal ini dan tabah , terutama dalam menghadapi rengekan anak-anak yang masih kecil. Ramadan cukup bagus dijadikan momen pendidikan empati dan kedisiplinan untuk membangun karakter anak-anak.
Langkah kedua, berkolaborasi dengan 'dapur-dapur umum' di sekitar rumah. Banyak pedagang profesional maupun kagetan yang menjajakan makanan berat atau ringan.
Masak sendiri terkadang perlu sumber daya yang ekstra tinggi, kejelian memadukan hidangan buatan rumah dengan  hidangan matang siap beli bisa sangat berkontribusi positif bagi kesehatan dompet dan diri anda.
Contohnya, bila ada anggota keluarga yang menginginkan sambal dengan kondisi harga cabe rawit nyaris setara 3 kg ayam saat ini, maka membeli seporsi sambal matang di warung nasi atau versi botolan akan jauh lebih hemat. Kolak atau bubur candil juga sama.
Ketimbang masak sendiri sepanci besar lalu akhirnya basi dan dibuang karena tak habis dimakan, lebih aman beli sesuai porsi yang dibutuhkan. Silahkan dihitung anggaran membuat sendiri sambal/kolak, lalu bandingkan dengan  harga penganan serupa yang ditawarkan pedagang.
Kolaborasi tersebut setidaknya memberikan dua keuntungan, yaitu tak ada makanan terbuang karena tersedia dalam porsi secukupnya dan ikut memberdayakan para pejuang sektor usaha kecil dengan membeli dagangan mereka. Keuntungan lain, takkan ada pembengkakan anggaran keluarga yang terlalu berlebihan.
Kiat-kiat di atas bisa diterapkan juga untuk pos kue Lebaran dan baju beduk. Perayaan sebagai ungkapan syukur paska Ramadan sah saja dilakukan dengan tetap menjaga diri agar tidak terjerumus pada keborosan yang berpotensi mengundang bencana finansial di kemudian hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H