Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

JK Rowling dan Emansipasi Perempuan Transgender

7 Juli 2020   10:31 Diperbarui: 7 Juli 2020   10:40 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Atletik, tinju, bulutangkis, atau sepakbola semua mencantumkan tambahan klasifikasi gender di belakangnya jadi atletik putra atau putri, tinju putra/putri, bulutangkis putra/putri, sepakbola putra/putri; sementara bila ada cabang olahraga berpasangan maka diistilahkan ganda campuran (bulutangkis, tenis, dan lainnya).

Hal itu dilakukan sejak jaman dahulu kala karena manusia secara umum mengetahui dan mengakui adanya perbedaan antara perempuan dengan lelaki, terutama dalam aspek kekuatan jasmaniah yang kasat mata. Secara umum lelaki dinilai memiliki kekuatan fisik lebih besar dari perempuan sehingga mempertandingkan dua gender dalam satu cabang olahraga dinilai tidak adil dan tidak sportif.

Maka wajar saja jika beberapa bulan ke belakang sebelum ramai pandemi, para atlit putri dalan sebuah kejuaraan lari tingkat SMA di salah satu negara bagian AS mengajukan protes saat posisi juara diraih oleh pesaing yang notabene perempuan transgender. Biar mereka mengaku sama-sama perempuan, tapi otot-tulang-daging-jeroan mereka toh 100 persen laki-laki. Pertandingan dinilai tidak sportif karena label putra/putri yang menempel di pertandingan itu sebenarnya mengacu pada gender biologis.

Kalaupun para pelaku/pendukung transgender ingin posisinya disetarakan dengan perempuan/lelaki biologis, sebaiknya mereka konsisten melakukan berbagai cara untuk 'menyamakan secara utuh dan bukannya hanya meniru' performa fisik mereka. Masalah keberadaan ovarium dalam tubuh perempuan, misalnya, apa sudah bisa dibuat replika yang minimal 75 persen sama dengan buatan Sang Khalik di tubuh perempuan biologis?

Selama naluri perempuan hanya bertahta di ranah psikis, maka urusan pekerjaan/pertandingan yang terkait dengan fisik hendaknya berkiblat pada gender biologis agar sportifitas lintas profesi bisa terjaga. Gender memang bukan sebatas urusan 'rasa', tapi ada runtutan logika dunia nyata yang harus diikuti agar emansipasi bisa membumi dengan sebaik-baiknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun