Sementara itu wacana Nanang tentang pemanfaatan dana haji untuk penanganan Covid-19 nyatanya mengundang penolakan dari berbagai kalangan, termasuk sesama anggota Komisi VIII dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"... Â saya tidak setuju jika uang jamaah dialokasikan atau dialihkan untuk penanganan Covid-19. Kecuali mereka (jamaah) mengizinkan." Kata anggota Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin Kamis (9/4) lalu pada Republika dan dia pun mengingatkan jika mayoritas calon jamaah haji Indonesia adalah rakyat kecil-menengah, yang baru bisa berangkat haji harus menabung selama belasan hingga puluhan tahun (Ibadah.co.id, 10 April 2020).
Penolakan berbagai kalangan tersebut akhirnya berbuah manis sore tadi (13/4) saat Kemenag melalui juru bicaranya Oman Fathurahman menegaskan bahwa tidak ada dana haji Indonesia yang digunakan untuk penanganan Covid-19 (Tempo.co, 13 April 2020).
Namun ada isu penting lain dilontarkan oleh Din Syamsuddin yang layak menjadi bahan pemikiran. Dia menekankan bahwa uang yang disetorkan oleh calon jemaah haji, sebagai nasabah di bank, adalah hak milik pribadi mereka namun selama ini dana yang terkumpul dikelola pemerintah seolah-olah bukan lagi hak milik pribadi calon jemaah haji.
Bank syariah di Indonesia, menurut Din sebagaimana dirilis Ibadah.co.id, tidak mengkhususkan diri pada pengelolaan dana haji sehingga nisbah atau bagi hasil keuntungan bersih dari berbagai usaha/investasi yang dilakukan bank seharusnya diberikan kepada pemilik uang alias calon jamaah haji yang menyimpan dana haji di bank tersebut. Jumlah nisbah bisa besar bila melihat masa tunggu keberangkatan calon jamaah haji Indonesia yang kini bisa sampai 20 tahun.Â
Nyatanya sampai sekarang tak pernah ada berita bahwa calon jemaah haji menerima pembagian keuntungan dari bank atas loyalitas mereka menabung yang bahkan sampai puluhan tahun tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H