"Negara-negara di dunia telah benar-benar berjuang untuk mengimplementasikan solusi domestik mereka sendiri dan itu tidak cukup untuk mengatasi masalah kesehatan global transnasional," kata Kristi Govella, asisten profesor studi Asia di Universitas Hawaii, Manoa.
Coronavirus yang muncul di Asia dan menyebar ke Barat berisiko memantul kembali ke tempat asalnya. Warga Asia yang khawatir tentang wabah di Eropa dan Amerika Serikat bergegas pulang setelah menemukan diri mereka dalam episentrum baru pandemi.Â
Tak berapa lama kemudian negara dan kota di Asia mulai melihat peningkatan kasus baru , para petugas pun kian sering mendeteksi adanya penumpang yang terinfeksi di bandara saat mereka melewati pemeriksaan kesehatan.
Hong Kong yang telah menekan kasus harian baru menjadi satu digit, tiba-tiba mengalami lonjakan kasus baru mencapai hingga 65 dalam satu hari. Di Jepang yang kasus infeksinya tetap relatif terkontrol pun mengalami peningkatan kasus bulan lalau di kota Tokyo saat para warganya kembali dari perjalanan ke luar negeri. Pembatasan pun terpaksa dilakukan.
Korea Selatan yang telah dipuji secara global karena mampu secara cepat meredam kasus infeksi paska puncak ledakan awal wabah minggu ini telah memperluas daftar asal negara migran yang harus menjalani karantina begitu masuk ke negerinya.
"Kami percaya bahwa di bawah situasi epidemi saat ini, meminimalkan kegiatan masuk dan keluar yang tidak perlu adalah tindakan yang bertanggung jawab dan diperlukan untuk secara efektif melindungi kehidupan, keselamatan dan kesehatan fisik semua warga China dan asing." Kata Liu Haitao, direktur jenderal untuk kontrol perbatasan dan manajemen Administrasi Imigrasi Nasional di Cina.
Hukuman karena melanggar aturan karantina bisa sangat keras. Seorang warga Singapura berusia 53 tahun harus merelakan paspornya dinyatakan tidak berlaku melanggar perintah karantina.Â
Sementara Jepang secara resmi mengatakan mereka yang melanggar karantina dapat dipenjara sampai enam bulan atau didenda sebanyak 500.000 yen, sekitar $ 4.600.
Karantina atau 'lockdown' memang dinilai cukup efektif dalam menekan penyebaran Covid-19, namun para ahli mengingatkan bahwa semakin lama berlangsung, semakin besar kemungkinan hal itu dapat merusak ekonomi global dan jiwa kolektif secara berkelanjutan.
"Meskipun prioritas pertama harus pada upaya mengendalikan virus." Kata Karen Eggleston, direktur program kebijakan kesehatan Asia di Pusat Penelitian Asia-Pasifik Shorenstein di Universitas Stanford, "Kita juga harus memikirkan biaya sangat besar  (yang ditimbulkan kebijakan) itu. Bila krisis dibiarkan berkepanjangan, biaya-biaya itu pasti akan meningkat lagi. "
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H