Kecepatan meluasnya peredaran berita di berbagai akun media sosial (medsos) di tengah pandemi Covid-19 ini memang luar biasa signifikan dalam mempengaruhi pemikiran masyarakat penggunanya di seluruh dunia dalam menyikapi penyakit tersebut.
Sayangnya kegemaran massa akan sensasi berbagai berita negatif, termasuk aneka hoax, sangat tidak menguntungkan dalam upaya penanggulangan wabah berskala global yang diyakini harus didasari dengan pemikiran positif. Mau tidak mau, jajaran manajemen akun-akun medsos harus bersikap tegas untuk mengatasi hal tersebut.
Baru-baru ini manajemen Twitter, sebagaimana dirilis oleh laman CNET (31/3), telah menghapus dua cuitan Presiden Brazil Jair Bolsonaro berikut unggahan videonya yang menayangkan sang politisi mempertanyakan efektifitas menjaga jarak interaksi sosial ('social distancing') dan karantina dalam memperlambat laju penyebaran coronavirus. Tindakan Twitter itu menunjukkan sikap perusahaan medsos itu untuk mengambil langkah lebih tegas dalam menghadapi berbagai misinformasi seputar isu kesehatan.
Twitter sering 'menutup mata' dari cuitan politisi yang melanggar aturannya dengan pertimbangan kepentingan publik, namun sepertinya mereka tidak akan berkompromi terhadap unggahan/pernyataan yang mengarah pada kekerasan dan dapat menyebabkan kerusakan fisik.
Awal bulan ini, manajemen jejaring sosial memperluas definisi kerusakan fisik tersebut dan mengharuskan pengguna untuk menghapus cuitan yang berisi penolakan rekomendasi otoritas kesehatan global atau lokal untuk mengurangi kemungkinan seseorang terpapar Covid-19.
Langkah di atas muncul untuk menjawab kritik bahwa mereka tidak melakukan langkah-langkah yang memadai untuk memperlambat penyebaran informasi kesehatan yang keliru.
"Apa yang saya dengar dari orang-orang adalah bahwa mereka ingin bekerja." Kata Bolsonaro, sebagaimana dilansir laman BuzzFeed, dalam salah satu videonya yang telah dihapus, "Brasil tidak bisa berhenti atau kita akan berubah menjadi (seperti) Venezuela," tambahnya.
Pemberitahuan yang mengatakan bahwa cuitan tidak lagi tersedia (bisa diakses) karena melanggar aturan Twitter muncul di akun Bolsonaro. BuzzFeed melaporkan bahwa video yang sama masih ada di Facebook, namun raksasa medsosl itu tidak menanggapi permintaan untuk memberi komentar. Begitu pula Bolsonaro dan kedutaan Brasil.
Bolsonaro bukanlah satu-satunya politisi yang ditindak oleh Twitter karena menyebarkan informasi yang salah tentang coronavirus. Pekan lalu mereka pun memberangus cuitan diktator Venezuela Nicols Maduro yang merekomendasikan penggunaan "minuman alami" sebagai obat yang potensial untuk mengatasi coronavirus.
Pada Jumat (27/3) lalu Twitter menghapus cuitan Rudy Giuliani, bahkan mengunci akun pengacara pribadi Presiden Donald Trump itu untuk sementara karena menyebarkan informasi yang salah tentang coronavirus. Giuliani mengutip aktivis konservatif Charlie Kirk yang secara keliru mengklaim bahwa "hydroxychloroquine telah terbukti 100% efektif untuk mengobati COVID-19."
Sayangnya Twitter masih 'pilih-pilih tebu' dalam menindak cuitan berisi informasi keliru tentang coronavirus yang ditulis tokoh-tokoh terkemuka itu. Misalnya cuitan CEO dan pendiri Tesla, Elon Musk, minggu lalu yang menyatakan bahwa 'anak-anak pada dasarnya kebal' terhadap Covid-19 masih dibiarkan beredar. Padahal anak-anak bisa tertular virus itu. Twitter, menurut Axios, tidak menggusur cuitan Musk karena menilainya  tidak "definitif". Â