'Sampurasun ...
Pembaca yang budiman ...
Setelah hampir 54 tahun selalu hadir
menemani pembaca setiap Minggu pagi,
sambil ditemani secangkir kopi atau teh,
dengan segala hormat, kami memberitahukan
bahwa Pikiran Rakyat Minggu (PRM) terbitan hari
ini, Minggu, 15 Maret 2020, yang ada di tangan
pembaca adalah edisi yang terakhir.'
Begitu penggalan nota dari Pemimpin Redaksi Harian Umum Pikiran Rakyat Bandung yang diletakkan di pojok kanan bawah halaman depan PRM edisi pagi ini (15/3). Singkat tapi cukup menggaung di dada ...
Maklum itu berkaitan dengan ritual favorit saya setiap hari Minggu, bila tak ada agenda liputan atau lemburan. Jalan santai ke lapangan olahraga dekat masjid yang terletak beberapa ratus meter dari basecamp untuk menonton rombongan ibu-ibu lintas usia bersenam-ria diiringi lagu dangdut, remaja yang asyik bermain basket, dan bocah-bocah riang gembira bermain sepakbola.
Tentu saja, yang mustahil dilewatkan, jajan aneka makanan kampung yang murah-meriah di situ. Beli secukupnya sesuai kadar kegembulan saat itu lalu pulang menjerang air untuk menyeduh secangkir teh atau kopi.Â
Lantas menikmati hasil perburuan sambil mengobrol santai dengan penghuni basecamp yang ada dan membolak-balik lembaran koran hari Minggu.
Beberapa tahun terakhir ini saya memang berlangganan khusus terbitan hari Minggu Kompas dan Pikiran Rakyat. Konten maupun gaya penyajian edisi Minggu memang punya kekhasan tersendiri, bisa dibilang lebih rileks dibaca dan menghibur.
PRM adalah bagian dari aktivitas klangenan saya dan fakta bahwa dia akan berhenti terbit, mau tidak mau membuat saya merasa kehilangan.
Apalagi ada kenangan manis saat tulisan-tulisan saya nyaris setiap Minggu terbit di sana, nun saat saya masih jadi mahasiswa S1 dan Kompasiana belum lagi menjadi embrio. Tapi nampaknya bukan hanya saya yang bakal kehilangan...
PRM punya lembaran khusus anak-anak yang memang menampung berbagai karya anak mulai dari mewarnai gambar, cerita pendek, liputan kegiatan sehari-hari, lomba materi pelajaran, dan lainnya.Â
Ke mana mereka harus mengirim naskahnya, ya? PRM punya kriteria lebih ringan soal karya-karya anak yang bisa dimuat dan serunya mereka pun memberi honor uang jajan untuk setiap karya yang lolos seleksi redaksi.
Tapi sepertinya masih ada harapan untuk yang satu ini karena di alinea kedua nota yang sangat menyentuh hati saya itu juga diberitahukan bahwa beberapa rubrik khas PRM akan dialihkan ke Pikiran Rakyat edisi Kamis, Jumat, dan Sabtu.
Cuma sejujurnya saya berharap bahwa PRM masih akan menjadi bagian dari Minggu-Minggu saya berikutnya. Saya masih ingin bercengkerama dengan rubrik kuliner Bandung, cerpen, puisi, dan rubrik Lawung yang berisikan karya sastra berupa cerpen dan puisi dalam bahasa Sunda.
Tapi kalau Jeff Bezos yang CEO Amazon nan tajir melintir saja harus angkat tangan dan menyetop penerbitan koran lokal gratis Express versi cetak untuk dialihkan ke format digital, apa daya saya untuk mempertahankan lembar-lembar PRM agar tetap hadir dalam genggaman?
Apalagi seperti banyak media cetak lain, PRM pun tidak bisa lolos dari imbas beralihnya para pengiklan ke media digital secara besar-besaran sejak tahun 2011 akibat tingginya penetrasi internet dimana pada tahun 2016 saja.Â
Menurut data Asosiasi Penyelenggaraan Jaringan Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di negeri ini sudah mencapai 132,7 juta orang atau naik sekitar 50 juta orang dibanding tahun 2014 (tirto.id, 8 Februari 2017). Jumlah yang saat ini pastinya sudah melonjak lebih tinggi lagi.
Apa boleh buat, saya harus merelakan salah satu kesayangan berlalu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H