Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Berhentilah Mencari Belahan Jiwa

9 Februari 2020   07:31 Diperbarui: 9 Februari 2020   07:39 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang, khususnya para penyandang status jomblo, yang percaya bahwa ada seseorang nun entah dimana yang memang diciptakan khusus untuk menjadi  soulmate alias belahan jiwa sempurna bagi dirinya. Kalau anda termasuk di dalamnya, jangan kuatir, karena anda tidak sendirian.

Survei Marist Poll yang dilaksanakan tahun 2011 menunjukkan bahwa hampir 75 persen orang Amerika percaya pada gagasan bahwa seseorang yang unik telah dibuat khusus untuk menjadi pasangan sempurna bagi mereka, ditakdirkan untuk menjadi teman hidup yang akan saling berbagi kasih sampai akhir zaman (Psychology Today, 3 Februari 2020). 

Gagasan keberadaan belahan jiwa adalah simbol romansa yang secara berangsur dipahatkan ke dalam jiwa kita setiap mendengar, "dan mereka berdua hidup bahagia selamanya."

Siapa yang tidak ingin menikmati kebersamaan menghanyutkan dengan pasangan yang sempurna? Ini terjadi pada banyak orang sepanjang waktu di film, acara TV, dan buku. Tapi kenapa anda tidak mengalaminya, ya?

Alasannya ternyata bersifat matematis. Ada lebih dari 7,5 miliar orang di dunia. Randall Munroe dalam bukunya 'What If? Serious Scientific Answers to Absurd Hypothetical Questions' menyebutkan bahwa dengan populasi penduduk dunia yang lebih dari 7,5 milyar orang, maka kita butuh 10.000 dikalikan masa seumur hidup untuk menemukan jodoh sempurna. Kok rasanya mustahil, ya?

Mari kita sedikit abaikan komponen eksklusivitas dan menghitung lagi dengan menggunakan perkiraan adanya sekitar 52.000 planet dengan tingkat peradaban setara yang ada di galaksi kita. Joe Hanson dalam bukunya 'Okay to Be Smart', berdasarkan perkiraan itu, telah mengkalkulasi bahwa ada 871 belahan jiwa tengah menanti setiap orang di kota tertentu. Lumayan, kan?

Tapi kemungkinan bertemu dengan salah satu dari 871 kandidat belahan jiwa itu saat anda mengunjungi kota tersebut yang berpenghuni jutaan orang sepertinya sangat tipis bahkan mungkin nihil. Masa sih sesulit itu?

Kita asumsikan saja kota tempat calon belahan jiwa itu berpenghuni 8,6 juta orang. Lalu asumsikan juga bahwa bayangkan anda adalah seorang ahli kencan kilat yang piawai menilai kualifikasi calon pasangan hanya dalam satu menit. Itu berarti, bila tidak tidur sama sekali, anda bisa mensurvei 1.440 orang dalam 24 jam. Anda akan butuh 16 tahun untuk melakukan 8,6 juta wawancara satu menitan tanpa henti dalam pencarian jodoh sempurna. Tertarik mencoba ?

Meski memilukan tetapi jangan putus asa, menurut penulis buku sekaligus dosen berprestasi di  Indiana University School of Medicine Bill Sullivan PhD sebagaimana ditulisnya di laman Psychology Today, ilmu pengetahuan mengajarkan kita bahwa kepercayaan akan adanya jodoh sempurna bisa merusak berbagai hubungan yang sudah terjalin karena akan banyak waktu terbuang untuk memilih-milih atau menebak-nebak kandidat terbaik ketimbang berupaya untuk memelihara kualitas kebersamaan yang tengah dijalani.

Sebuah studi tahun 2014 yang dilakukan oleh psikolog Spike WS Lee dari Rotman School of Management University of Toronto dan Norbert Schwarz dari University of Southern California menunjukkan bahwa pasangan yang percaya pada jodoh sempurna akan sering mengalami konflik ketimbang pasangan yang memperlakukan waktu-waktu kebersamaan sebagai peluang untuk bertumbuh bersama agar bisa bertumbuh menjadi mitra yang lebih baik satu sama lain.

Sementara studi tahun 2007 yang diketuai psikolog Eli Finkle di Northwestern University menunjukkan bahwa gagasan belahan jiwa telah memicu banyak kecemasan dan kesulitan memaafkan setelah pertengkaran pasangan. Gagasan itu membuat setiap orang berharap akan kesempurnaan pada pasangannya dan bila itu tidak diperoleh, maka kesimpulan tergesapun muncul bahwa pasangan yang ada bersamanya saat ini bukanlah orang yang tepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun