Dr. Amani Ballour (33) menyelesaikan studinya di Universitas Damaskus pada 2012, satu tahun setelah perang saudara di Suriah dimulai. Perang yang berawal pada pertengahan suatu musim semi di jazirah Arab saat Presiden Suriah Hafez al Assad menghadapi sebuah gelombang protes massa terhadap pemerintahannya dengan menggunakan kekuatan yang mematikan sehingga mengubah pemberontakan yang awalnya sekedar demo massa menjadi konflik bersenjata yang memancing masuknya kekuatan dari luar dan teroris radikal Islam (ABC News,4 Februari 2020).
Sekarang konflik itu telah berlangsung selama hampir hampir sembilan tahun dan menewaskan setidaknya 500.000 orang serta lebih dari 6 juta orang terpaksa harus mengungsi.
Pertempuran itu mulai menghantam Ghouta dengan keras ketika Ballour sedang melanjutkan studinya di bidang pediatri. Di tengah pengepungan oleh rezim Assad dan sekutunya, dia meninggalkan studinya untuk mulai bekerja sebagai dokter dan merawat orang, terutama anak-anak.
Pada 2013 dia bergabung dengan Cave, sebuah rumah sakit yang terletak 65 kaki ( 18 meter lebih) di bawah tanah yang dimaksudkan agar terhindar dari serangan udara, ketika Assad mulai menjadikan rumah- rumah sakit sebagai sasaran tembak dalam konflik.
Ballour ada di sana pada dini hari 21 Agustus 2013 saat rumah sakit kedatangan pasien-pasien dalam kondisi tertekan tanpa ada tanda-tanda cedera, hanya saja mereka memperlihatkan gejala kesulitan bernapas, disorientasi, mual, muntah, dan kehilangan kesadaran.
Mereka adalah korban keracunan sarin, senjata pemusnah massal yang, merujuk studi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), digunakan untuk menyerang sistem saraf.Â
Serangan itu, menurut Sekjen PBB Ban Ki-moon, merupakan "penggunaan senjata kimia yang terkonfirmasi paling signifikan terhadap warga sipil sejak tahun 1988"dan, menurut pemerintah AS telah menewaskan 1.429 orang, termasuk setidaknya 426 anak-anak.
Usia Ballour baru 29 tahun ketika rekan-rekannya mengankatnya menjadi direktur Cave tahun 2016. Sebuah posisi yang menempatkan Ballour harus berjuang menangani arus korban yang tak ada habisnya, sekaligus tekanan masyarakat patriarki yang kuat agar bisa menerima seorang perempuan memimpin rumah sakit.
Seperti yang didokumentasikan dalam film "The Cave" yang mendapat nominasi Oscar tahun ini untuk kategori Documentary (Feature); Ballour memimpin Cave melalui semua jenis serangan, termasuk serangan senjata kimia lain pada Maret 2018 dan serangan udara langsung "20 kali atau lebih," Tuturnya pada ABC News.
Saat hal tersebut terjadi, sutradara film, Feras Fayyad ada bersamanya. Fayyad adalah pembuat film Suriah yang telah mengalami dipenjarakan dan disiksa oleh rezim Assad, namun dia pantang surut mempertaruhkan nyawanya untuk terus menceritakan kisah-kisah para korban dan pahlawan konflik perang sipil Suriah, termasuk melalui film dokumenternya "The Last Men in Aleppo" yang mendapat nominasi Oscar 2017.
"The Cave"Â merupakan hasil produksi bersama Fayyad dengan National Geographic Documentary Films yang merupakan anak perusahaan Walt Disney Co yang juga induk dari ABC News.