Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kita Tak Harus Selalu Memaafkan

14 Desember 2019   06:32 Diperbarui: 14 Desember 2019   06:36 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu nasehat yang paling populer hingga saat ini adalah 'maafkan semua orang yang bersalah kepadamu agar kita bisa lepas dari masa lalu, termasuk rasa sakit dan berbagai kenangan pahit yang bisa mengusik ketentraman hati'. Benarkah demikian? Lantas bagaimana bila 'kesalahan yang dilakukan orang lain' itu sedemikian merusak dan dampak negatifnya berpotensi akan terus terbawa korban sepanjang sisa hidup ke depan?

Kepercayaan yang mendalam tentang manfaat memaafkan orang lain bisa menjadi pisau bermata dua saat seseorang yang disakiti masih berada dalam turbulensi emosi negatif dan terlalu kacau untuk bisa memaafkan. Lalu timbullah perasaan bersalah atau malu karena merasa tidak bisa memaafkan dengan sepenuh hati sehingga bila dibiarkan berlarut, bisa memunculkan keputus-asaan. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula ...

Menurut Mariana Bockarova, seorang peneliti dari University of Toronto (Kanada), sebagaimana dilansir dalam Psychology Today menyatakan bahwa pemberian maaf atau pengampunan (forgiveness) merupakan sebuah fenomena psikologis kompleks yang melibatkan faktor situasional maupun individual sehingga dalam beberapa situasi tertentu, memaafkan adalah sesuatu yang tidak perlu dilakukan.

Salah satu hal yang tidak perlu dimaafkan adalah tindak kedengkian, pelecehan, atau kekerasan sejati dimana pelakunya tidak menunjukkan penyesalan sama sekali atau tidak paham bahwa tindakannya adalah salah namun dia merasa puas atau menikmati rasa sakit dan penderitaan yang ditimbulkan ulahnya terhadap orang lain.

Korban, demi pemulihan psikisnya, harus berjuang untuk bisa menerima kekerasan/kejahatan yang menimpa dirinya, tapi dia tidak perlu memaafkan. Hal ini, misalnya, berlaku pada kasus-kasus penganiayaan yang dilakukan oleh orangtua, keluarga, atau orang-orang terdekat. Korban, secara mandiri atau dengan bantuan konselor/orang terpercaya, harus bisa menerima kenyataan bahwa orang yang begitu dekat ternyata mampu berbuat jahat, bersenang-senang di atas penderitaannya, dan terus menerus menyakitinya hanya agar mendapat kepuasan pribadi.

Pada kasus-kasus tersebut di atas, gagasan untuk mengampuni biasanya muncul dengan sendirinya dalam bentuk pemikiran, 'Saya tahu, saya butuh untuk memaafkan ....' Atau ,'Saya tidak tahu bagaimana caranya agar saya bisa memaafkan.'

Kalimat-kalimat semacam itu memiliki kekuatan yang tidak bisa diabaikan karena di dalamnya terdapat konsep yang menyerang kehendak pribadi dari individu yang terluka terkait penilaiannya pada diri sendiri, harga diri, dan pemahamannya tentang dunia beserta orang-orang di sekitarnya. Apakah perlu memaafkan?

Kita tidak perlu memaafkan tindak kejahatan sejati, namun kita butuh memahami, menerima, dan yakin bahwa para pelaku kejahatan bertanggungjawab penuh atas tindakannya. Mungkin dibutuhkan bantuan seorang teman baik atau terapis untuk itu agar korban bisa menemukan titik terang dalam memahami kasusnya. Dia butuh pertolongan untuk bisa mencintai dirinya sendiri yang telah menjadi korban kekerasan dan juga butuh membuat perencanaan yang tepat agar bisa kembali melangkah.

Pengampunan atau pemberian maaf adalah fenomena emosional-psikologis yang di dalamnya mengandung bobot evolusi tertentu yang memungkinkan kita berfungsi dalam masyarakat atas dasar kepercayaan.

Mayoritas kasus menunjukkan bahwa pengampunan itu sehat, dibutuhkan, dan direkomendasikan. Namun terkadang ada lebih banyak kekuatan yang tumbuh saat kita memutuskan untuk tidak memaafkan, bila mau belajar dari kasus kekerasan yang telah dialami lalu menjadikannya pendorong untuk bertumbuh dan terus melangkah ke depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun