Ada sepertiga makanan di dunia terbuang sia-sia karena berbagai faktor, namun pemerintah berbagai negara dan pelaku lain dalam sistem pangan tidak dapat menangani 820 juta orang yang secara reguler menderita kelaparan (Nature.com, 16 Oktober 2019).
Hal tersebut terjadi karena kebijakan-kebijakan pangan yang diberlakukan saat ini sangat tidak efisien dan mahal. Banyak biaya-biaya tersembunyi yang harus dikeluarkan pemerintah dan warga dunia akibat kebijakan politis maupun bisnis yang salah kaprah. Jadi bukannya mendukung ketersediaan pangan yang mencukupi penduduk, namun alokasi anggaran yang ada malah habis untuk membayar dampak lanjutan dari kebijakan keliru itu.
Industri makanan secara khusus, sebagaimana dilansir oleh Nature.com, juga memikul tanggung jawab atas fakta bahwa 680 juta orang mengalami obesitas yang menyebabkan pemerintah dan warga harus menanggung sebagian besar biaya perawatan pasien-pasien yang terpapar penyakit terkait kegemukan berlebih itu.
Sama halnya ketika pertanian berskala industri menyedot banyak air untuk mengairi lahan-lahannya, maka para pembayar pajak harus bersiap-siap untuk membayar biaya penanggulangan akibat penyusutan debit air yang kelak mungkin akan terjadi.
Begitu pula untuk penerapan agrokimia dan pengaruhnya terhadap kesehatan manusia dan ekosistem. Pemerintah negara-negara di dunia harus siap memikul biaya hilangnya keanekaragaman hayati dan memangkas kontribusi pertanian untuk emisi gas rumah kaca.
Tragedi di jantung sistem pangan dunia sedemikianlah yang mewarnai peringatan Hari Pangan Sedunia yang jatuh pada Rabu (16/10) lalu dan penyebabnya terutama disebabkan oleh kebijakan pemerintahan-pemerintahan di dunia, para produsen makanan, serta pelaku agribisnis.
Biaya-biaya tersembunyi yang harus dipenuhi akibat kebijakan-kebijakan pangan yang tidak tepat, menurut laporan kunci yang dikeluarkan oleh sebuah institusi, diperkirakan mencapai USD 12 triliun per tahun dan akan naik menjadi USD 16 triliun pada tahun 2050. Itu adalah angka yang mengejutkan karena setara dengan PDB China.
Parahnya lagi biaya-biaya tersebut tidak secara teratur dihitung dan industri makanan-pertanian tampaknya berasumsi bahwa semua ongkos itu akan dibayar. Anggapan tersebut tidak benar dan harus diubah.
Laporan kunci yang disusun oleh Food and Land Use Coalition (Koalisi Pangan dan Penggunaan Lahan),yang beranggotakan kelompok-kelompok bisnis, lembaga-lembaga penelitian, dan PBB; juga menyertakan perhitungan biaya yang harus dibayar oleh pemerintah dan pelaku bisnis untuk transisi ke sistem makanan yang berkelanjutan.
Mereka memperkirakan biaya transisi mencapai USD 300 - 350 miliar per tahun. Selain itu, setelah memperhitungkan biaya tersembunyi, sistem pangan berkelanjutan ditaksir dapat menghasilkan USD 5,7 triliun per tahun pada 2030 seiring bermunculannya peluang-peluang ekonomi baru dan itu akan mengimbangi biaya transisi yang dikeluarkan dengan berlipat ganda.
Tentu saja sistem pangan sedemikian baru dapat dicapai bila pemerintah dan kalangan bisnis berkomitmen untuk bersinergi melakukan beberapa perubahan dalam kebijakan-kebijakan yang diterapkan. Selama ada uang yang akan dihasilkan, pelaku bisnis seharusnya tidak keberatan untuk mengubah kebijakan perusahaan. Tinggal pihak pemerintah membuat beberapa terobosan untuk mendorong kalangan bisnis mempercepat perubahan itu.
Beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk mendukung akselerasi para pelaku bisnis pangan adalah mengatur sistem perpajakan agar lebih tepat guna, regulasi inovatif industri pangan, dan pemberian insentif finansial bagi para pelaku yang konsisten menerapkan sistem pangan berkelanjutan. Kombinasi ketiga hal tersebut dinilai paling efektif.
Kita berharap sistem pangan berkelanjutan ini dapat efektif menekan jumlah penderita kelaparan di seluruh dunia dengan tetap menjaga lingkungan agar kondusif untuk kehidupan sampai berabad-abad ke depan.