Bahwa batik adalah warisan budaya milik Indonesia secara resmi sudah mendapatkan sertifikat pengakuan dari UNESCO sejak 2 Oktober tahun 2009 silam, namun bagaimana kondisi tekstil tradisional itu di pasar dalam dan luar negeri saat ini?
Paguyuban Pecinta Batik Indonesia  (PPBI) 'Sekar Jagad' melalui salah seorang pengurusnya, Hani Winotosastro, meminta pemerintah membatasi impor tekstil bermotif batik untuk melindungi dan melestarikan batik Nusantara sebagai warisan non benda yang telah diakui UNESCO (ANTARA, 23 September 2019).
Hani, yang mengemukakan pendapatnya dalam acara dialog 'Batik, Warisan Budaya Nusantara dan Solusi di Era Ekonomi Global' di Yogya, juga menambahkan  bahwa lima tahun terakhir ini pasar dalam negeri dibanjiri bahan tekstil impor yang harganya dibandrol sangat murah sehingga, meski kualitasnya jauh di bawah tekstil batik lokal, laris manis diborong pembeli.
Pastinya sulit memaksa pembeli untuk beralih pada batik lokal karena pertimbangan harga dan tak mungkin pula menekan pengusaha batik lokal untuk bersaing jor-joran murah, maka kebijakan proteksi nampaknya harus diberlakukan agar tekstil batik impor,"Harus dibatasi atau malah dihilangkan." Tandas Hani.
Sepertinya harapan itupun mengemuka dari pihak pemerintahan yang disuarakan oleh Direktur Jendral Warisan Budaya Kemendikbud, Nadjamuddin Ramly,saat ditanya tentang perlindungan batik lokal"Salah satunya dengan kebijakan perdagangan kita.Â
Harusnya batik impor Cina tidak boleh masuk ke Indonesia." Katanya seraya berharap partisipasi masyarakat untuk membeli produk-produk sendiri agar batik negeri sendiri dapat terus bertahan (ANTARA,1 Oktober 2019). Â
Sebenarnya bukan hanya dari Cina, Ketua Umum Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) Komarudin Kudiya mengungkapkan saat ini batik-batik tiruan alias KW berkualitas sangat rendah serupa dari India pun membanjiri pasaran grosir di Jakarta, Jawa Barat, hingga Jawa Tengah (detikcom,2 Oktober 2019).
Sementara untuk perdagangan ke mancanegara, Kementerian Perdagangan mencatat nilai ekspor batik per semester pertama tahun ini mencapai USD 18 juta yang terhitung masih sangat jauh dari target ekspor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) yang tahun ini dipatok mencapai USD 15 milyar dan realisasi nilai ekspor batik Indonesia juga masih amat tertinggal dari nilai perdagangan produk pakaian jadi di dunia yang mencapai USD 442 milyar (CNN Indonesia, 24 September 2019). Â
Selain gempuran tekstil batik murahan dari Cina dan India, sebenarnya apa saja kendala yang harus diatasi oleh para pengrajin batik Indonesia untuk mensejajarkan aspek ekonomi dengan aspek prestisiusnya sebagai warisan budaya non benda kelas dunia ?
Berikut penuturan Heri Kismo Rusima, pemilik Batik Hafiyan Trusmi Cirebon (Jawa Barat), tentang lima kendala yang dihadapi para pengrajin batik Indonesia sebagaimana yang dilansir oleh Indonesia Investment (17/5/2016), yaitu :
(a) Industri batik Indonesia terlalu bergantung pada bahan baku impor. Diperkirakan sekitar 90 persen dari bahan baku yang dibutuhkan untuk memproduksi batik, terutama kapas dan pewarna, diimpor dari luar negeri.
(b) Kurangnya acara yang mendorong penggunaan batik secara berkesinambungan
(c) Kurangnya kualitas dan kuantitas promosi/iklan yang dapat mendorong antusiasme masyarakat terhadap produk batik.
(d)Â Kurangnya pendidikan tentang seni batik. Hanya sedikit orang Indonesia yang dapat membedakan berbagai gaya dan teknik batik walaupun bentuk seni ini memainkan peran penting dalam sejarah Indonesia.
(e)Jumlah pelukis batik terus menurun karena kurangnya minat generasi muda untuk menekuni profesi tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H