Sejumlah kasus pemukulan polisi terhadap mahasiswa dalam aksi-aksi unjuk rasa beredar gencar melalui jejaring medsos maupun media massa beberapa hari terakhir ini.Â
Contohnya, kasus tindakan represif terhadap demonstrasi Universitas Pakuan (Unpak) Bogor yang mengakibatkan sejumlah mahasiswa berdarah-darah (JPPN.com, 21 September 2019) disusul kasus serupa di Bandung yang mengakibatkan 150 mahasiswa tumbang baik karena trauma akibat tendangan atau hantaman benda tumpul atau hipotermia akibat serangan  water canon dan gas air mata (Pikiran Rakyat.com, 24 September 2019).
Satu hal yang menggelitik pikiran adalah kenapa selama ini polisi terkesan ringan saja bertindak kasar terhadap para demonstran, memangnya tidak ada aturan untuk urusan pengendalian massa yang mempertimbangkan aspek hak asasi manusia di dalamnya?
Demonstrasi merupakan bagian dalam aktifitas yang dikategorikan 'menyampaikan pendapat di depan umum' dan pemerintah memberikan amanat kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri) melalui Pasal 13 ayat (3) UU 9/1998 yakni dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Selanjutnya terkait pengendalian massa (dalmas) diatur oleh Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa yang kemudian dikenal dengan 'Protap Dalmas'. Di sini diatur sejumlah kewajiban dan larangan yang harus dipatuhi oleh semua anggota polisi saat menjalankan tugas dalmas.
Kewajiban yang ditempatkan Protap Dalmas di urutan pertama adalah menghormati hak asasi manusia setiap pengunjuk rasa. Sementara itu, sesuai Pasal 7 ayat (1) Protap Dalmas, setiap anggota polisi dalam tugas dalmas dilarang bersikap arogan dan terpancing oleh perilaku massa, melakukan tindak kekerasan yang tidak sesuai prosedur, membawa peralatan di luar peralatan dalmas, membawa senjata tajam dan peluru tajam, keluar dari ikatan satuan/formasi dan melakukan pengejaran massa secara perseorangan, mundur membelakangi massa pengunjuk rasa; mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan seksual/perbuatan asusila, dan memaki-maki pengunjuk rasa, serta melakukan perbuatan lainnya yang melanggar peraturan perundang-undangan.
Secara legal Protap Dalmas dikuatkan kembali dengan keluarnya Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri) No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.Â
Di dalamnya diatur kewajiban dan larangan bila polisi dalam tugas dalmas dihadapkan pada situasi ricuh/bentrokan massal seperti terjadi hampir setiap hari belakangan ini.
Lantas apakah polisi tidak boleh menangkap oknum anarkis dalam demontrasi? Pasal 23 (1) Perkapolri 9/2008 mengatur bahwa pelaku yang anarkis dilakukan tindakan tegas dan diupayakan menangkap pelaku dan berupaya menghentikan tindakan anarkis dimaksud.Â
Penangkapan tersebut, sesuai Pasal 24 Perkapolri 9/2008, harus dihindarkan dari tindakan aparat yang spontanitas dan emosional; misalnya mengejar pelaku, membalas melempar pelaku, menangkap dengan kasar dengan menganiaya atau memukul.
Intinya semua peraturan di atas menegaskan bahwa polisi tidak punya kewenangan memukul demonstran karena luapan emosional semata. Apabila para mahasiswa pendemo mengalami hal tersebut, segera laporkan secara detil pada kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terdekat dan akan lebih baik bila disertai bukti foto/video beserta daftar saksi/korban yang siap memberikan kesaksian.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H