Uni Emirat Arab (UEA) telah memberikan dukungan dana bagi pemimpin militer yang berusaha menggulingkan rezim pemerintahan Libya yang diakui PBB. Negera federasi itu juga memimpin koalisi negara-negara yang memberlakukan blokade ekonomi atas Qatar, tanpa menghiraukan seruan AS untuk mengakhiri perselisihan melalui jalur diplomatik (Reuters, 26 Agustus 2019).
Bahkan investigasi Reuters tahun ini menemukan bahwa UEA mempekerjakan para mantan staf badan keamanan nasional (National Security Agency, NSA) sebagai peretas elit untuk memata-matai sebuah program yang memasukkan orang Amerika sebagai target pengawasan.
Luar biasanya lagi dan sangat di luar kebiasaan, sebagaimana penuturan tiga orang mantan pejabatnya yang paham betul soal ini, badan intelijen pusat (Central Intelligence Agency, CIA) juga tidak melakukan praktek spionase ke dalam pemerintahan UEA.Â
Hal ini mendatangkan berbagai kritik karena dinilai telah menciptakan titik buta (blind spot) alias zona yang tak terpantau dinamikanya dalam pemetaan intelijen AS.
Pola kebijakan yang diambil CIA ini  bukan hal baru, yang berubah adalah dinamika politik seperti intervensi negara OPEC yang kecil namun berpengaruh di Timur Tengah dan Afrika.Â
Menurut sumber dan pakar kebijakan luar negeri, negara-negara produsen minyak tersebut  menggelar perang, menjalankan operasi rahasia dan menggunakan kekuatan finansialnya untuk membentuk kembali politik regional dengan cara yang sering bertentangan dengan kepentingan AS.
Kegagalan CIA untuk beradaptasi dengan ambisi militer dan politik UEA yang terus berkembang merupakan "kelalaian tugas," Ujar mantan pejabat CIA keempat.
Namun komunitas intelijen AS tidak sepenuhnya mengabaikan UEA. NSA melakukan pengawasan via peralatan elektronik, sejenis pengumpulan data intelijen yang berisiko lebih rendah dengan imbalan rendah pula, di dalam UEA.Â
CIA pun bekerjasama dengan intelijen UEA dalam relasi sebagai pihak penghubung untuk berbagi tugas intelijen dalam menghadapi musuh bersama, seperti Iran atau al-Qaeda.
Baik CIA, NSA, maupun Gedung Putih menolak berkomentar tentang praktek-praktek spionase AS di UEA, begitu pula menteri luar negeri dan kedutaan UEA di AS tidak merespon permintaan untuk memberi komentar tentang hal yang sama.
Praktek 'lepas tangan' CIA, yang tidak pernah diangkat oleh media sebelumnya, itu telah menempatkan UEA ke dalam daftar super pendek negara-negara yang diperlakukan CIA dengan pendekatan serupa. Empat negara lainnya , menurut mantan pejabat intelijen AS, yang masuk dalam daftar itu adalah anggota koalisi intelijen yang disebut  'The Five Eyes', yaitu Australia, Selandia Baru, Inggris, dan Kanada.
Hak istimewa yang diterima UEA itu adalah buah investasi finansial dan pendekatan diplomatik yang telah dilakukannya secara konsisten dalam rentang waktu yang panjang. Menurut Center for Responsive Politics, pemerintah UEA telah membelanjakan USD 46,8 juta untuk para pelobi AS sejak tahun 2017.
UEA juga mendorong terbentuknya ikatan yang lebih kuat dengan Rusia, termasuk menandatangani kemitraan strategis berdaya jangkau luas untuk kerjasama di bidang keamanan, perdagangan, dan pasar minyak pada 2018 lalu. Hal yang sama dilakukan dengan China.
Juli 2019 lalu Sheikh Mohammed bin Zayed, putra mahkota Abu Dhabi sekaligus penguasa de facto  UEA, melakukan kunjungan tiga hari ke sana untuk membentuk forum ekonomi UEA --China.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H