Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena Keabadian Alquran

31 Mei 2018   08:59 Diperbarui: 31 Mei 2018   09:12 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjaga Keseragaman Bunyi dan Makna

Perlu dicatat bahwa tulisan dalam Al Qur'an yang dikerjakan oleh tim Khalifah Utsman tersebut masih menggunakan huruf-huruf Arab tanpa harakat dan tanpa titik-titik pembeda huruf hingga populer di kalangan masyarakat Indonesia dengan sebutan 'Arab gundul'. Maklum di era Nabi Saw sampai Khulafaur Rasyidin, mayoritas sahabat dan umat menguasai bahasa Arab yang fasih hingga meski tanpa harakat maupun titik huruf tak ada kesulitan membaca dengan tepat sesuai yang diajarkan oleh Nabi Saw.

Tentunya hal itu tak bisa berlaku untuk kalangan masyarakat atau bangsa-bangsa lain  yang kurang memahami atau memang tidak menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa utama. Itulah sebabnya dengan seijin Rabb, para ulama di masa awal dokumentasi Al Qur'an memandang perlu mencantumkan tanda-tanda baca untuk lebih menjamin keseragaman 'bunyi' dan keutuhan makna bacaan sesuai wahyu aslinya yang berlaku  lintas bangsa lintas bahasa bahkan sampai lintas generasi hingga saat ini.

Setelah 40 tahun mempelajari Al Qur'an versi Arab gundul, akhirnya Khalifah Muawiyyah bin Abi Sufyan memerintahkan Abul Aswad ad-Dualy untuk meletakkan tanda titik di tiap akhir kata/kalimat yang disebut i'rab. Selanjutnya Khalifah Abdul Malik bin Marwan melanjutkan upaya menjaga keseragaman bacaan Al Qur'an dengan menugaskan al Hajjaj bin Yusuf untuk menambahkan titik pembeda antar huruf yang memiliki bentuk sama (misal satu titik di tengah dibaca 'ja', tanpa titik 'ha', satu titik di atas 'ho', -pen.). 

Penambahan terakhir dilakukan oleh Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidy di masa Dinasti Abbasiyah yang menambahkan tanda dhommah, fathah, kasrah, tasydid, dan sukun  hingga umat Islam lintas bangsa dapat membaca Al Qur'an sesuai bunyi wahyu asli dengan lebih mudah. Sejarah berikutnya adalah proses pencetakan mushaf menjadi buku lalu masuk ke dalam format digital.

Setelah rangkaian proses di atas, sampai detik ini ayat-ayat Al Qur'an terdengar sama bacaannya di seluruh pelosok bumi ini dan tetap sama dari jaman leluhur sampai generasi terkini. Tinggal adu keindahan memperdengarkannya dengan tetap berpegang pada kaidah membaca Al Qur'an dengan benar dan baik.

Referensi:

1 2   3  4  5 6 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun