Setiap orang dengan agenda harian hidupnya masing-masing pastilah butuh semacam oase untuk tetirah sejenak menyegarkan kembali stamina agar dapat lanjut menggapai tujuan dengan semangat yang terbaharui. Perempuan sesibuk Yeni Fatmawati (46) dengan segudang posisi penting di berbagai organisasi; sebut saja Pendiri dan sejak tahun 2008 diamanahi sebagai Ketua Dewan Pembina Indonesian Corporate Counsel Association (ICCA), Co Founder International Society of Sustainability Proffesional (ISSP) chapter Indonesia, dan Pendiri sekaligus Wakil Ketua Padjadjaran Law Center –Komunitas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung; memilih puisi yang telah digandrunginya sejak kecil sebagai oase itu.
Yeni telah memenangkan banyak penghargaan untuk urusan berpuisi ini karena sejak masih tercatat sebagai siswa SD sampai setelah menjadi mahasiswa jurusan Hukum Internasional di Fakultas Hukum Unpad, dia tergolong rajin mengikuti berbagai perlombaan. Juara pertama Lomba Poetry Readingantar universitas yang digelar oleh Fakultas Sastra Inggris Unpad pun sempat diraihnya pada masa itu.
Seiring perjalanan karir profesional yang terus menapak naik paska lulus cum laude tahun 1994 dari almamaternya ( Yeni punya jejak rekam karir yang mengesankan di berbagai perusahaan besar seperti PT Sari Husada (Danone), PT Unilever Indonesia, Tbk, PT GE Finance Indonesia, PT Coca Cola Indonesia, -pen.) dan pendalaman ilmu yang dilakukannya via program khusus di Brussels European Training Institute (2010) serta Harvard Business School (2011). ruh puisi dalam dirinya pun mengepakkan sayap bertransformasi ke dalam berbagai media, termasuk lukisan.
Adalah sahabatnya, Revita Tantri, yang setahun lalu mengajak istri dari Fahmi Idris ini bertandang ke Studio deDada di kawasan Bintaro dan mempertemukannya dengan sang pemilik studio, pelukis Chandra Maulana,”Ajakan Mbak Vitta bikin aku semangat karena sudah lama banget pengen belajar melukis tapi nggak pernah punya waktu akibat kesibukan kerja.”
Antusiasme Yeni kian merekah saat Chandra menyodorkan kanvas kosong berukuran 205x124 cm,”Ini pertama kali melukis di kanvas terus langsung segede itu … eh, ternyata enjoy.. “Papar ibu dari dua remaja, Reihan Abhipradana dan Naura Ambareswari, yang menilai melukis di kanvas sebesar itu merupakan tantangan tersendiri,” Belajar melukis secara serius pertama kalinya ya lewat kanvas itu, termasuk bagaimana mengisi bidang gelap-terang dalam lukisan.”
Protected ,begitu Yeni menamai karya pertamanya, menampilkan setangkai mawar ungu mendominasi kanvas secara vertikal dengan jalinan kawat berduri melintang di depan mengisyaratkan perlindungan yang sempurna. Juga kecemasan yang sangat dalam …
Ada puluhan lukisan berbagai ukuran yang telah dilahirkan Yeni dalam kontemplasi kanvas yang diakuinya terbilang intens sejak tahun 2015 itu. Ada dua pameran bersama yang telah diikutinya, yaitu Pameran ‘Imaji Bahari Nautika Rasa’ di Galeri Nasional, Jakarta (September 2016) dan ‘ARTefak Laut Kidul’ di Papuri Art Gallery, Bandung (Desember 2016). Lukisan yang diikutsertakan dalam pameran pertama sudah diboyong pulang oleh pembelinya.
Lukisan lain yang berjudul ‘Danau Kelimutu’ pun sold out pada ajang Pameran Kain dan Budaya Ende beberapa waktu lalu,”Ada yang beli lukisan itu senilai Rp 25 juta, lumayan buat nambah-nambah biaya renovasi Museum Ende.”Tutur Yeni yang terpilih sebagai Wakil Ketua Komunitas Peduli Wastra (wastra adalah kain tradional dari berbagai pelosok Nusantara, -pen.) seraya menambahkan bahwa momen tersebut merupakan pameran pertama dalam agendanya setelah menerima amanah itu.
Saat perayaan ulang tahunnya pada Januari 2016 lalu, Yeni mendampingkan puisi kata dan puisi kanvas melalui peluncuran buku kumpulan puisi hasil kolaborasi dengan dua temannya berjudul ‘Resonansi Tiga Hati’ dan pameran 12 lukisan karyanya di Dia.lo.gue Art Space, Kemang, Jakarta. Sementara puisi yang melangkah ke dalam kanvas dilakoni Yeni kala menterjemahkan puisinya berjudul Sepi (2012) ke dalam sebuah lukisan monokromatik coklat . Eksplorasi media puisi anak keempat dari lima bersaudara pasangan (alm) R Dudung Priatna dan R Tafrijiah ini ternyata masih terus berlanjut. Kali ini dia memilih jalur tiga dimensi dengan belajar membuat patung pada Dolorosa Sinaga. Dukungan penuh suami dan anak-anak sepertinya membuat penjelajahan puisi Yeni akan terus berlanjut merambah zona-zona baru.
“Puisi, melukis, dan mematung.menurutku bisa menjadi sarana pengasah kehalusan budi, wahana perenungan yang berujung pada terbebaskannya jiwa dari belenggu persoalan kehidupan yang mungkin mendera, juga merupakan pembasuhan jiwa yang sekaligus penjaga keseimbangan otak kiri dan kanan....” Papar Yeni yang berharap bisa terus belajar dan berkarya serta suatu saat bisa membangun studio representatif yang dapat mengalirkan manfaat bagi mereka yang kurang beruntung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H