Ada beberapa fakta menggelitik yang sepertinya cukup aktual untuk direnungkan dalam perayaan kemerdekaan negeri tercinta ini yang pada 17 Agustus 2016 tmencapai bilangann usia 71 tahun. Misalnya, tahukah Anda kalau pemerintah menghabiskan sekitar US$ 46,6 juta untuk membeli 1,04 juta ton garam dari luar negeri ? Itu masih ditambah lagi dengan US$ 97,8 juta untuk beras, US$ 522,9 juta untuk jagung.
US$ 719, 8 juta (kedelai), US$ 1,3 milyar (biji gandum dan meslin), US$ 19,5 juta (gula pasir), dan US$ 789 juta (gula tebu). Total US$ 3,5 milyar setara Rp. 51 triliun  kita belanjakan untuk kedelapan jenis bahan pangan tersebut (Biro Pusat Statistik, Januari-Agustus 2015). Belum lagi kalau kita menambahkan nilai belanja impor buah yang pada tahun 2013 mencapai US$ 694.2 juta  untuk buah segar/kering maupun  buah olahan.
Total nilai ekspor non migas, termasuk komoditas pangan, Indonesia secara kumulatif per Januari-Maret 2016 mencapai US$30,14 miliar atau menurun 9,64 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya. Khusus untuk ekspor hasil pertanian turun 17,44 persen. Sementara itu kumulatif nilai impor non migas mencapai US$28,06 miliar (turun 8,37 persen).
Sekilas terlihat posisi neraca menunjukkan adanya ‘keuntungan’, namun catatan dari hasil survei yang sama menyatakan bahwa nilai impor golongan bahan baku/penolong dan barang modal selama Januari–Maret 2016 mengalami penurunan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya masing-masing sebesar 15,21 persen dan 18,22 persen. Sebaliknya impor golongan barang konsumsi meningkat 23,74 persen.
Kalimat terakhir semakin mengokohkan posisi kita dalam peta perdagangan global sebagai konsumen alias ‘target pasar’ untuk barang-barang produksi negara-negara lain, khususnya yang tergabung dalam forum organisasi perdagangan dunia WTO (World Trade Organization) dan forum ekonomi Asia-Pasifik APEC (Asia-Pacific Economy Cooperation).  Direktur Indonesia Global Justice, Riza Damanik, menilai bahwa keterlibatan Indonesia dalam kedua organisasi tersebut berpotensi menggerus kemandirian bangsa.
Pelarangan pemberian subsidi bagi para petani dan petambak selama satu dekade terakhir dan kebijakan pembatasan impor komoditas hortikultura pada tahun 2011 yang akhirnya digugat Amerika Serikat pada tahun 2013 hingga terpaksa harus direvisi untuk kepentingan bangsa lain adalah contoh rendahnya daya lobi kita di WTO.
Selain itu perjanjian dagang internasional via APEC memaksa Indonesia untuk terus memperluas perkebunan kelapa sawit yang 70 persen hasilnya adalah untuk ekspor. Ekstensifikasi lahan tersebut akhirnya berdampak pada kian menyusutnya lahan pertanian hingga pemerintah terpaksa harus mengimpor produk pangan dari mulai beras sampai garam.
Urusan kebijakan notabene adalah urusan para pengemban amanah kepemimpinan di Indonesia, lantas apa yang bisa kita lakukan sebagai warga negara biasa yang menjadi penduduk mayoritas di negeri ini? Tentu saja kita pun bisa membuat kebijakan sendiri untuk urusan pangan ini yang berlaku meliputi teritori domestik sesuai kapasitas kita masing-masing dari mulai diri sendiri, keluarga inti, keluarga besar, atau komunitas tertentu dengan berbagai skala bila kita ditakdirkan jadi salah satu figur panutan di situ.
Kita bisa mulai dengan menertibkan daftar makanan yang sering kita santap dari mulai makanan pokok sampai camilan. Kuliner impor yang konten bahan produksinya dominan impor, apalagi bila kehalalannya tak jelas dan potensial membahayakan kesehatan, adalah prioritas pertama yang harus kita hilangkan dari daftar menu. Aneka hidangan khas mancanegara yang berbahan baku utama daging sapi impor sebaiknya kita hindari atau minimal dikurangi frekuensi menyantapnya.
Rendang Padang atau bistik Jawa toh tetap lezat meski berbahan baku daging sapi lokal. Apel Malang mungkin tak secantik apel Xiandong atau California, begitu pula halnya jeruk Medan tak seayu jeruk impor dari negeri Paman Sam; Â namun konten gizi secara umum sama bahkan karena produk lokal kemungkinan penggunaan pengawetnya juga jauh lebih rendah.
Begitu pula untuk aneka produk olahan berbahan dasar ayam atau ikan, usahakan memilih produk dari pengusaha yang lebih banyak menggunakan bahan-bahan lokal dalam pembuatannya. Sesekali pulsa internet bisa digunakan untuk sebuah langkah nasionalis yang sederhana, browsing profil-profil produk pangan yang kontennya dominan komoditas lokal.
Atau amati lebih cermat lingkungan tempat kita tinggal, barangkali masih tersisa lahan-lahan yang ditanami sayuran/palawija/buah-buahan? Cobalah beli langsung dari para petaninya, selain lebih segar dan murah, kita juga bisa sedikit menyenangkan hati mereka. Bagi yang berpenghasilan di atas rata-rata, jangan pelit belanja komoditas pangan negeri sendiri meski harganya jauh lebih mahal dari produk sejenis impor.
Pahami betapa berat para petani/peternak yang sudah sejak lama harus terima nasib dipaksa menggunakan sarana produksi pertanian (pupuk, pestisida, benih, dan semacamnya) atau pakan ternak impor yang mahal karena kebijakan pemerintah memang sepertinya sulit berpihak pada mereka. Â Kartel-kartel di dunia mereka sudah terlanjur mengakar dan mencekik, jadi ikhlaskan harga jual lebih tinggi yang dipatok petani/peternak kita sebagai bentuk solidaritas sekaligus dukungan.
Ingat Indonesia adalah negara agraris dan berdasarkan hasil Sensus Pertanian (ST) 2013, tercatat sekitar  38 juta dari total 252,16 juta orang penduduknya berkiprah menafkahi keluarga di sektor pertanian . Betapa banyak saudara sebangsa yang akan kehilangan mata pencaharian dan terjun bebas ke jurang kemiskinan, bila kita biarkan pertanian kita hancur digerus produk-produk pertanian impor.
Berat? Repot? Mana ada perjuangan tanpa cucuran keringat, air mata, dan  dana; ikhlaskan sebagai bentuk jihad sedekah sosial untuk mendongkrak status komoditas pangan Indonesia agar kembali menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan suatu saat mengintervensi pasaran negara-negara lain karena kualitas dan solidnya dukungan kita. Ayo, berjuang bersama menjadi Pahlawan Pangan Indonesia!
Referensi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H