Saat Icha menunjukkan tanda-tanda ketertarikan yang lumayan intens pada materi dasar pengantar baca-tulis –hitung (calistung) yang disodorkan secara sengaja oleh bundanya, yang memang sangat terkesan dengan pemikiran Glenn Doman tentang metode mengajari bayi-bayi untuk membaca, maka sejarah bersekolah dalam kehidupannya pun dimulai. Sebuah sekolah taman kanak-kanak (TK), yang lumayan favorit di era 90-an, dipilih Bunda Icha untuk menjadi ajang debut akademis putri sulungnya itu.
Tentu saja Bunda Icha yang notabene menyandang predikat sarjana itu sadar betul bahwa keputusan yang diambilnya perlu perjuangan tersendiri untuk dijalani, terutama dalam mempersiapkan Icha memasuki agenda formal bersekolah sekitar dua jam setiap hari dari Senin sampai Sabtu. Maka program adaptasi intensif pun dimulai jauh-jauh hari sebelum hari pertama sekolah, termasuk dengan memasukkan Icha ke kelompok belajar mengaji anak-anak di mesjid dekat rumah yang berlangsung dari setelah Magrib sampai Isya. Ceritanya program 2in1, edukasi dini agama plus pengenalan suasana belajar di kelas bersama teman-teman.
Begitulah, akhirnya tiba juga pagi itu, saat dengan kecamuk sejuta rasa Bunda Icha selesai mendandani Icha dengan seragam kemeja katun tangan pendek berdasi mungil yang dirangkap rok selutut model rompi, sepatu kets bergambar lucu, dan ransel berisi kotak bekal menggelandut di punggung bocah imut itu. Icha dan bundanya pun bersiap mengawali hari pertama sekolah di TK yang harus menggunakan becak atau angkutan umum untuk mencapainya.
Saat menjejakkan kaki memasuki pekarangan TK, pemandangan pertama yang menyambut mereka adalah anak-anak yang berseragam sama dengan Icha tengah asyik bermain ayunan, perosotan, atau kejar-kejaran antar mereka. Pemandangan berikutnya adalah rombongan ibu-ibu yang menggerombol di selasar penghubung ruang-ruang kelas; kebanyakan digelandoti oleh anak-anak mereka yang rupanya sama seperti Icha baru akan memulai debut bersekolah di TK. Bunda Icha pun membawa putrinya menemui wali kelas, seorang ibu guru yang ramah dan penyabar.
Icha tak perlu waktu lama untuk menjabat lalu mencium punggung tangan wali kelasnya itu. Beberapa temannya ada yang bertindak serupa, namun ada juga yang menolak keras-keras sambil bersembunyi di belakang pantat ibunya atau bahkan merengek setengah menangis minta pulang. Icha dipandu ke sebuah rak kayu besar untuk menyimpan ranselnya.
Saat pandangan dilayangkan ke ruang kelas terlihat kursi-kursi kayu kecil diatur mengelilingi meja-meja kecil yang dicat warna-warni, ada mainan balok edukatif, lukisan-lukisan cat air dan pernak-pernik hasta karya khas anak-anak TK dipajang rapi. Sebuah papan tulis hitam tergantung di dinding sebagai titik pandang utama, lengkap dengan sekotak kapur warna-warni, dan penghapusnya.
Bunda Icha pun melanjut perkenalan dengan para ibu lainnya sembari berusaha mendorong anak-anak mereka untuk saling berteman. Ada yang malu-malu, tak peduli, atau malah langsung mengajak teman barunya untuk menjajal berbagai alat bermain yang ada di halaman.
Suara tamborin berkerincing dimainkan oleh Ibu Wali Kelas pertanda sudah waktunya bagi anak-anak untuk masuk kelas. Ada yang sukarela masuk, seperti Icha, tapi ada juga yang harus sedikit paksa dituntun ibunya untuk beranjak ke kelas dan terlibat perdebatan sengit sebelum akhirnya mau melepas ibunya. Seorang bunda bahkan harus rela duduk di dalam kelas selama pelajaran berlangsung karena putranya tidak mau ditinggal.
Begitulah pintu kelas pun ditutup untuk memberi waktu yang cukup bagi ibu-ibu guru membangun komunikasi dengan murid-murid baru mereka melalui sapaan, menyanyi, dan memainkan gamesederhana. Para ibu yang baru mulai menyekolahkan anak-anak sulung mereka, termasuk Bunda Icha, antusias berjinjit mengintip di balik jendela-jendela kaca yang separuhnya tertutup tirai bermotif lucu. Sembari berusaha untuk tidak membuat kegaduhan, mereka mencoba menangkap respon buah hati tercinta saat duduk di bangku sekolah mereka yang pertama dalam kehidupan yang masih akan membentang panjang.
Icha yang mungil terlihat tenang duduk di kelompoknya sembari memperhatikan ibu guru di depan kelas, sesekali dia merespon dengan ikut bernyanyi atau bertepuk tangan atau menggoyangkan anggota badan sesuai permintaan ibu gurunya.
Hari pertama sekolah Icha hanya berlangsung sekitar satu jam, setelah makan bekal bersama dan berdoa, mereka pun dipandu berbaris menuju pintu, berpamitan pada Ibu Walikelas dengan cium tangan lalu memburu ibu mereka masing-masing dengan ekspresi super lega. Saat Icha tersenyum menjawab,”Mau” untuk pertanyaan,”Besok mau sekolah lagi?”; maka aura happily ever after pun merasuk dengan nyaman ke dalam relung hati Bunda Icha.
(Ditulis berdasarkan pengalaman sejati Bunda Icha. Si Sulung nan imut itu kini sudah lulus sarjana dengan predikat ‘cum laude’ dari sebuah ptn terkemuka dan tengah bertumbuh sebagai profesional tangguh di bidang HRD,-pen.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H