Kasus-kasus ‘pertempuran’ temperamental guru dan murid yang belakangan marak menjadi konsumsi publik melalui pemberitaan media massa maupun medsos memiliki banyak faktor pemicu, salah satunya adalah guru yang tidak kompeten. Ketidak-kompetenan ini, menurut analisa banyak pakar maupun praktisi pendidikan, disebabkan oleh sistem pendidikan guru yang kehilangan arah sejak dibubarkannya Sekolah Pendidikan Guru (SPG), Pendidikan Guru Agama (PGA), dan Sekolah Guru Olahraga (SGO) pada pertengahan tahun 1990-an. Alasan pemerintah adalah guru sekolah wajib bergelar sarjana, sebuah gelar yang bisa dicapai oleh lulusan SMA/SMK umum selama dia berhasil mencapai gerbang wisuda. Tak perlu lagi ada jenjang pendidikan menengah khusus untuk mencetak guru.
Sebuah kebijakan yang sangat kontra produktif mengingat lulusan ketiga sekolah tersebut telah memiliki bekal yang lebih mumpuni untuk mendidik anak-anak SD ketimbang alumni SMA yang melanjut kuliah ke Pendidikan Guru SD (PGSD) ataupun sarjana sembarang yang mengantongi ijin mengajar setelah memiliki Sertifikat Akta IV. Â Apalagi di masa keemasannya tidak sembarang lulusan SMP bisa masuk ke SPG/PGA/SGO, hanya mereka yang lulus dengan nilai ujian akhir nasional tinggi plus lolos seleksi masuk berlapis-lapis yang diterima menjadi kandidat guru.
Jenjang SD adalah periode krusial pembentukan fondasi pembangunan karakter dan kecerdasan sosial-intelektual pada anak-anak yang selanjutnya akan ditumbuh-kembangkan di level pendidikan berikutnya. Para siswa SPG/PGA/SGO ditempa sedemikian rupa untuk mengakomodir dinamika tumbuh-kembang anak-anak didik dengan berbagai materi pelajaran yang secara khusus ditujukan untuk mendidik; seperti  Psikologi Pendidikan, Ilmu Mendidik, Didaktik Methodik, Psikologi Anak, dan materi-materi laian yang terkait langsung dengan proses pendidikan-pengajaran yang notabene tidak diberikan di SMA/SMK umum saat ini.
Para siswa kelas akhir SPG/PGA/SGO diajari langkah-langkah membuat Satuan Persiapan (SP) mengajar yang sekarang dikenal dengan Rencana Persiapan Pembelajaran (RPP) dan melakoni praktek mengajar di sekolah-sekolah yang ditunjuk oleh tim pengajar mereka. Proses panjang itulah yang membuat mereka lebih siap dalam menghadapi dinamika kelas di SD yang memang butuh stamina lahir-batin prima, terutama kesabaran yang sebisa mungkin tanpa batas. Hal yang tidak dimiliki oleh lulusan SMA umum saat mereka lulus sebagai sarjana dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan  (FKIP) sekarang ini.
Fenomena rendahnya kecerdasan emosional, terhubung langsung dengan lemahnya karakter, sebagian anak-anak usia sekolah saat ini menunjukkan kebutuhan mendesak akan guru-guru yang lebih kompeten dan itu hanya bisa diperoleh bila pemerintah merevisi kembali desain sistem pendidikan guru secepatnya. Hidupkan kembali SPG/PGA/SGO untuk memperbaiki kualitas guru-guru SD dan berikan beasiswa bagi para alumninya yang berprestasi untuk melanjut ke FKIP agar bisa memenuhi kualifikasi sarjana sesuai target pemerintah. Bahkan kalau perlu prosesnya bisa diawali dengan penjaringan siswa-siswa jenjang SMP yang berprestasi plus beasiswa lengkap untuk jenjang SPG/PGA/SGO sampai lulus sarjana FKIP. Lebih sempurna lagi bila diwadahi dalam format ikatan dinas yang mewajibkan para penerima beasisw a melakukan pengabdian selama minimal 7 tahun (sesuai masa penerimaan beasiswa) mengajar di berbagai SD yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.
Lebih cepat merevisi desain sistem pendidikan guru dan merealisasikannya di lapangan akan lebih baik karena empat tahun ke depan, tepatnya tahun 2020, negeri tercinta ini diramalkan akan sangat kekurangan guru dan itu membahayakan masa depan Indonesia yang sangat kaya dengan keanekaragaman budaya dan potensi ekonomisnya. Tanpa pendidikan yang mumpuni bagi generasi pewaris masa depan maka bisa dipastikan nasib bangsa ini bakal lebih parah dari telur di ujung tanduk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H