Pada Sabtu (2/1) malam lalu di Gedung Bale Asri Pusdai, jl Diponegoro, Bandung; saya berkesempatan menyaksikan langsung Pedang Pora saat menghadiri perhelatan pernikahan putri senior saya di Menwa Yon II Unpad Bandung, Prof Dr Hardi Prasetyo, yang bermenantukan seorang perwira lulusan Akademi Militer – Angkatan Darat.(AAD)
Prosesinya yang melibatkan adik-adik angkatan mempelai pria di AAD dengan dukungan Korps Drumband dari Sekolah Calon Perwira (Secapa) TNI AD Bandung  tersebut  berlangsung sesuai dengan konsep Tata Upacara Militer (TUM) yang telah diatur sedemikian rupa hingga klop dengan upacara pernikahan untuk berbagai agama di Indonesia.
Diawali dengan formasi baris berhadapan Pasukan Pedang Pora yang terdiri atas 12 orang berseragam lengkap dengan pedang panjang yang masih berada dalam sarungnya tergantung rapi di pinggang setiap anggota pasukan. Kedua mempelai, Santa dan Adhi, pun telah bersiap-siap di posisi yang ditentukan.
Komandan Regu melapor pada mempelai bahwa Pedang Pora siap dilaksanakan lalu menyerukan aba-aba dan anggota pasukan pun dengan sigap serempak menghunus pedang mereka membentuk Pagar Pedang yang harus dilewati oleh mempelai. Santa- Adhy. Selanjutnya pasukan membentuk Formasi Berbanjar lalu  Formasi Melingkar diikuti menghunuskan pedang ke atas membentuk Payung Pedang Pora menaungi mempelai.
[caption caption="Ikatan sakral di hadapan Rabb untuk menapaki Jalan Ksatria (dok WS)"]
Di bawah Payung Pedang Pora itu berlangsung penyematan cincin pernikahan dan penyerahan seperangkat pakaian seragam Persatuan Istri Tentara (Persit) kepada Santa. Lalu Komandan Regu menyerukan aba-aba Tegak Pedang dan pembawa acara pun membacakan puisi yang penggalannya tercantum di atas.
Setiap formasi barisan maupun prosesi dalam Upacara Pedang Pora ternyata menyiratkan sebuah renungan mendalam tentang hakekat kehidupan seorang perwira yang, baik suka maupun duka, akan melibatkan sang istri dalam dinamikanya. Pedang terhunus melambangkan bahwa dengan bersikap dan berjiwa ksatria kedua mempelai akan selalu siap untuk mengatasi segala rintangan dan menerobos semua hambatan yang akan menghalangi kehudupan mereka dan posisi dua shaf berhadapan adalah simbol gerbang kehidupan baru yang akan dimasuki mempelai.
Saat keduanya melewati Pagar Pedang merupakan cerminan doa agar mereka berdua mampu bergandengan tangan dalam mengatasi segala rintangan untuk mencapai tujuan yang mulia.
Formasi Berbanjar melambangkan kegembiraan para yunior atas kebahagiaan kakak angkatan mereka sekaligus pernyataan loyalitas bahwa mereka siap berbagi suka-duka dalam menghantar sang kakak menuju jenjang kehidupan yang baru. Ikatan batin yang terjalin kuat  antar mereka sebagai sesama siswa pendidikan perwira yang sarat perjuangan dan tempaan fisik sebagai bekal menjalankan pengabdian pada bangsa  sebagai perwira diperlihatkan dalam Formasi Melingkar, sekaligus bukti kesaksian mereka atas ikatan sakral antara Santa dan Adhy yang mereka pun akan bahu membahu melindungi ikatan tersebut.
Formasi Payung Pedang Pora ini menyiratkan doa agar Tuhan Yang Maha Esa akan selalu melindungi kedua mempelai dalam menghadapi berbagai rintangan hidup akan selalu ingat dan memohon petunjuk serta perlindungannya. Pemakaian cincin menjadi bukti telah terjadinya ikatan pernikahan Santa- Adhy dan penyerahan seragam Persit merupakan sebuah pengakuan bahwa Santa telah diterima sebagai anggota keluarga besar Persit ‘Kartika Chandra Kirana’.
[caption caption="Bersama Komandan dan para senior (dok WS)"]