[caption caption="Semoga amalanku dan amalanmu diterima dan disempurnakan Rabb Azza wa Jalla (dok 3.blogspot.com/edited by WS)"][/caption]
Luka-luka di tubuh seusai melakoni Perang Badar belum lagi pulih saat Rasul Saw dan para sahabat beliau melangkah ke tanah lapang bersama ummat Islam untuk mendirikan Shalat Idul Fitri pertama dalam sejarah peradaban Islam yang jatuh pada 1 Syawal 2 Hijriah. Bahkan diriwayatkan bahwa Rasul Saw memberikan khutbah sesudahnya sambil duduk bersandar pada Bilal ra, sebuah pertanda kelelahan fisik yang sangat luar biasa.
Perang yang terjadi pada 17 Ramadhan 2 Hijriah itu merupakan perang besar pertama dalam masa kenabian Rasul Saw dimana 313 anggota pasukan umat Islam yang tengah menjalankan shaum wajib plus dua ekor kuda harus bertempur melawan 1000 anggota pasukan Kaum Quraisy dengan dukungan logistik perang yang terbilang ‘wah’ berupa 600 baju zirah, 100 ekor kuda, 700 unta, ditambah suplai makanan mewah untuk beberapa hari. Perhitungan matematis sudah memastikan siapa yang bakal keluar menjadi pemenang, namun fakta sejarah ternyata memberikan hasil yang berbeda. Ini tentang kualitas keyakinan dan keberanian untuk memperjuangkannya secara total.
Saat maklumat perang dikumandangkan, Rasul Saw yang punya kapasitas memberikan komando selaku panglima perang memilih momen perekrutan pasukan itu untuk menempa semangat juang dan ketauhidan para sahabatnya. Alih-alih memberikan instruksi, Rasul Saw mengumpulkan sahabat-sahabatnya untuk bermusyawarah soal keikut-sertaan mereka berperang. Respon mereka beragam, ada yang langsung menyambut dengan penuh semangat, tapi tak kurang pula yang merasa ketakutan mengingat kondisi pasukan lawan yang pastinya lebih bonafid. Di depan kelompok terakhir inilah, salah seorang sahabat bernama Miqdad bin Al-Aswad ra dengan lantang berkata pada Rasul Saw :
"Ya Rasulullah , kami tidak akan mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan oleh Bani Israel kepada Musa, 'Pergilah kamu bersama Tuhanmu, kami duduk (menunggu) di sini'( dalam surah Al-Maidah). (Tapi ) Pergilah bersama dengan keberkahan Allah dan kami akan bersama denganmu !"
Lantas Rasul Saw pun menunggu respon lanjutan dari ikrar para sahabat. Kaum Muhajirin yang notabene pengungsi asal Mekah sama dengan beliau adalah pihak pertama yang mengajukan diri menjadi anggota pasukan, Rasul Saw menanti kesediaan Kaum Anshar selaku pribumi kota Medinah untuk melakukan hal yang sama. Penantian Rasul Saw dijawab oleh pembesar kaum Anshar, seorang sahabat bernama Sa’ad bin Mu’ad, dalam orasinya yang singkat namun sarat keimanan dan ketaatan.
”Wahai Utusan Allah, kami telah mempercayai bahwa engkau berkata benar, kami telah memberikan kepadamu kesetiaan kami untuk mendengar dan taat kepadamu. Demi Allah, Dia yang telah mengutusmu dengan kebenaran, jika engkau memasuki lautan, maka kami akan memasukinya bersamamu dan tidak seorang pun dari kami yang akan tertinggal di belakang . Mudah-mudahan Allah akan menunjukkan bahwa tindakan kami akan menyenangkanmu.. Maka majulah bersama-sama kami, letakkan kepercayaan pada kami dalam keberkahan Allah”
Begitulah, akhirnya kekuatan iman yang merupakan gabungan antara keberanian menghadapi resiko dan kepasrahan diri menerima takdir dari Rabb membuahkan kemenangan bagi pasukan yang secara logistik maupun jumlah personil sangat memprihatinkan dibanding lawannya itu. Tentu saja ada pengorbanan besar yang harus mereka berikan, dari mulai harta benda sampai nyawa. Tercatat 14 orang di antara mereka gugur sebagai syuhada dan pastinya luka ringan maupun parah serta keletihan ekstrim mendera mereka yang berhasil melewati peperangan dalam keadaan hidup.
Maka Idul Fitri bagi Rasul Saw dan para sahabatnya saat itu bermakna kemenangan ganda, yakni menang atas hawa nafsu yang cenderung memanjakan diri dan menang atas musuh yang berkehendak menghancur-leburkan mereka sampai ke akar-akarnya. Kemenangan yang terakhir adalah ‘efek samping’ dari kemenangan pertama karena tanpa itu, Perang Badar bisa jadi dimenangkan secara in absentia oleh pihak Quraisy. Rasul Saw dalam berbagai hadits menekankan bahwa jihad terbesar manusia adalah mengendalikan hawa nafsu yang notabene tidak kasat mata dan tak terukur kapasitasnya agar dengan demikian dia mampu menjadi pemenang dalam berbagai episode pertempuran lain di sepanjang kehidupannya.
Referensi :
http://azharjaafar.blogspot.com/2008/08/kisah-perang-badar.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H